Sabtu, 28 Mei 2011

Nurhadi ‘Memed’

Apa bentuk syukur kita kepada Tuhan atas udara yang kita hirup, air yang kita teguk, jiwa yang selamat dari bencana serta kemurahan alam lainnya selain berbuat sesuatu untuk kelestarian alam?
           
Tentu, kehidupan menghadirkan banyak pilihan. Dari sekian banyak pilihan itu, Nurhadi telah memilih untuk bekerja dalam sunyi, di tandusnya gunung, di rusaknya rimba. Menyerahkan hidupnya sebagai abdi bagi keberlangsungan alam. Pakaian sederhana juga rambut dan cambangnya yang panjang kian menegaskan hidupnya yang menjauh dari kemapanan.
            Memed, begitu dia lebih dikenal. Di kalangan pecinta lingkungan, sering pula dia dipanggil Stres. Sementara sebagian lainnya memanggilnya Mbahe Argopuro. Tentu itu bukan panggilan ejekan. Tapi lebih kepada ungkapan sanjungan untuk menjelaskan betapa ‘gila’ dan luar biasanya Memed dalam menjaga kelestarian alam.
            Semua ke’gila’an Memed berawal ketika usianya masih 13 tahun, saat masih duduk di bangku kelas satu di SMP Prapanca, Jember. Di usia sebelia itu, kegelisahan akan kelestarian alam telah muncul dalam dirinya. Memed sudah memiliki kekhwatiran beberapa tumbuhan akan punah. Kekhawatiran yang terbukti kelak di masa depan.
            Kala itu, Memed kecil telah memilih hidup berbeda dengan anak-anak seusianya. Di saat yang lain masih senang bermain, dia lebih senang menanam dan merawat pohon di samping rumahnya. Tak butuh waktu lama, halaman rumah di Jalan Teratai itu telah penuh dengan aneka tumbuhan. Kedua orang tuanya, Alm. Suda’I dan Ipit Siti Indari sempat kahwatir dengan tingkahnya itu.
            “Keluarga saya kan keluarga montir otomotif. Jadi mereka kaget. Akhirnya saya hanya katakan pada mereka, saya takut terjadi kepunahan spesies,” kenang pria kelahiran 15 Mei 1973 ini. Penjelasan yang tentu tak sepenuhnya memaklumkan hati kedua orang tuanya itu. Namun Memed tak begeming. Di jalan terus.
            Seiring waktu, ketertarikannya kepada alam semakin menguat. Memed mulai sering keluar masuk hutan. Khususnya di lereng selatan pegunungan Argopuro. Saat itulah, kekhawatirannya terbukti. Banyak jenis pohon yang mulai langka. Salah satunya adalah bingkes, pohon dari jenis beringin. Penyebabnya sebagian besar karena ulah manusia. Penebangan liar membuat banyak pohon yang musnah.
            Melihat itu, hatinya bergemuruh. Memed marah. Dia merasa orang-orang tak mengerti betapa pentingnya pohon-pohon itu untuk menjaga ekosistem alam. “Pohon itu penting untuk ekologi. Pohon bisa menjaga kelembapan tanah. Sehingga ketersediaan air tetap terjaga,’” katanya.
            Memed hanya seorang lulusan SMP. Dia bukan seorang penguasa yang cukup tunjuk tangan agar niatnya terkabul. Dia pun bukan peneliti yang punya banyak teori tentang ekologi. Namun, atas kemarahannya itu, terucap ikrar dalam dirinya untuk berbuat. Melestarikan alam dengan apa yang dia bisa, dengan keringatnya sendiri kalau perlu.
            Sejak saat itu, Memed rajin membawa bibit tumbuhan dari hutan, kemudian dia tangkarkan di rumahnya. Setelah siap ditanam, bibit itu kemudian dia kembalikan ke habitatnya. Khususnya di daerah-daerah rawan longsor di lereng selatan Argopuro, seperti gunung Pasang, gunung Kerincing serta gunung Sawut.
            Untuk melakukan itu, Memed tak menunggu siapa-siapa. Tak harus ada seremoni atau peresmian. Tak perlu menunggu proyek bernilai rupiah dari pemerintah. Ditanamnya aneka bibit pohon hutan itu seorang diri. Tanpa bayaran. Dia memilih bekerja dalam sunyi. Baginya, menunggu uluran tangan orang lain hanya akan membuat suatu hal yang sederhana menjadi berbelit-belit.
             Demi menjalankan kegiatan konservasinya itu, Memed mencari rupiah dengan  serabutan. Sesekali dia membantu kawannya membuat kerajinan manik-manik. Kalau ada yang membangun rumah, dia bekerja sebagai kuli bangunan. Hasilnya, seringkali hanya cukup untuk ongkos angkutan ketika dia ingin pergi ke hutan.
            “Paling banyak saya bawa uang Rp 25 ribu. Biasanya untuk naik angkutan hingga ke Bunut, Panti,” ungkap pria yang sudah pernah mendaki hampir seluruh gunung di Jawa ini. Tak ada perbekalan makanan yang dia bawa. Saat di hutan, dia mengandalkan apa yang ada di alam.
            Alam memang telah menyediakan segalanya. Pernah Memed menghabiskan satu minggu di hutan. Ratusan pohon dia tanam. Meski tak ada perbekalan, Memed tak kelaparan. Rotan bakar dan umbud bakar cukup mengenyangkan baginya. Umbud adalah tanaman sejenis palm yang tumbuh di hutan, dan bisa dimakan daging batangnya. Untuk kebutuhan proteinnya, sesekali dia memancing ikan di sungai.
            Meski tak sekolah tinggi, namun Memed tak malas belajar. Dia tahu, menanam pohon di hutan juga ada aturannya. “Agar tak sesat,” katanya. Dari buku dan pengalamannya di hutan, Memed tahu bahwa pohon sapen hidup di ketinggian 1.200 mdpl. Sementara pohon kopi anjing di ketinggian 1.100 mdpl. Begitupun dengan pohon-pohon lainnya. Memed tak mau niat baik menanam di hutan justru malah merusak ekosistem.
            Tak terhitung sudah pohon yang dia tanam. Memed puas saat melihat pohon-pohon itu tumbuh. Meski, hatinya selalu terenyuh, saat melihat banyak hutan yang kian gundul. Bahkan, banyak kawasan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat hanya ditanami tanaman perdu, seperti kopi. Tak heran jika titik longsor kian banyak ditemukan.
            Suatu malam, dalam kesendirian di puncak gunung, Memed menangis. Melihat kerlip ribuan lampu di kota Jember, hatinya tercabik-cabik. “Apa para pemimpin tidak ada yang tahu atau pura-pura tak tahu dengan ancaman bencana,” serunya. Begitulah, saat di hutan, Memed justru tak pernah merasa damai. Dia selalu marah melihat alam yang rusak. Mungkin karena itulah, hingga kini dia tak pernah berhenti menanam.
            Beberapa kali, khususnya seusai banjir bandang Panti terjadi, kegiatan reboisasi memang lebih sering dilakukan pemerintah maupun LSM. Namun bagi Memed, reboisasi itu tak ubahnya menanam bencana kembali. Bagaimana tidak, pohon yang ditanam lebih berupa tanaman produksi, seperti sengon atau mahoni. “Pernah digalakkan menanam trembesi, tapi justru kenapa di pinggir jalan. Akhirnya hanya jadi komoditas politik,” keluhnya.
            Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Memed barangkali kegiatan idealis yang berat atau mungkin tak masuk akal. Bahkan, ada yang pernah menyebutnya sok pahlawan. Namun sekali lagi, itu tak membuatnya berhenti. Malah membuatnya semakin ‘gila’ untuk menanam di hutan.
Kini, di usianya yang sudah 37 tahun, Memed tak berniat berhenti untuk menanam di hutan. Dia pun kini sering diikuti oleh para mahasiswa pecinta alam (PA) dalam kegiatan konservasinya. Meski, dalam hatinya sering bertanya-tanya, siapa yang akan meneruskannya kelak. Meneruskan program menanam pohon di hutan dengan tulus. Dia berharap, beberapa anak dari PA yang lebih pintar secara keilmuan dibandingkan dirinya, kelak akan mengikuti jejaknya.
Lamat-lamat, Memed menggugah kesadaran kita, “Hutan sudah memberikan bagitu banyak kepada kita. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, lalu kita terlindungi dari bencana. Dengan apa kita berterima kasih?"


*****                                                                                                                                                          

Kamis, 26 Mei 2011

Potnya Juga Bagus Kok


Marhapik sudah ditakdirkan memilik bakat humor yang tinggi. Kelebihan selera humornya tersebut membuat teman-teman kerjanya seringkali kerasan dan betah ketika mengobrol 
Marhapik sendiri memang bekerja sebagai karyawan di salah satu merek rokok ternama di Jember. Jabatannya di perusahaan tersebut cukup bagus, yakni sebagai supervisor marketing. Dengan jabatannya itu, Marhapik seringkali melakukan tes wawancara terhadap calon-calon karyawan baru. Khususnya para sales promotion girl (SPG) yang akan mempromosikan rokok-rokoknya.
Pada suatu saat, Marhapik sedang janjian dengan beberapa calon SPG baru. Bersama dengan rekannya, Mat Jebol, dia sudah menunggu kehadiran para calon SPG baru tersebut dikantornya,
Selang beberapa saat kemudian, para calon SPG baru tersebut sudah mulai bermunculan. Para wanita-wanita cantik tersebut kemudian dipersilahkan untuk duduk di ruang tunggu yang memang tersedia di kantor tersebut.
Karena berharap ingin diterima sebagai SPG di salah satu rokok ternama, mereka tidak hanya mengandalkan kecantikan semata. Namun juga kesiapan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ketika wawancara.
Selain itu, pakaian yang mereka kenakan juga bukan pakaian sembarangan. Namun mengikuti mode terkini, seperti yang dikenakan oleh Markonah. Kebetulan Markonah memang datang belakangan waktu itu.
Menggunakan jians ketat, dipadu dengan kaos pink berhias sebuah bunga mawar di dadanya, Markonah mamasuki kantor tersebut. Melihat ada yang datang lagi, Marhapik mempersilahkan Markonah untuk masuk dan bergabung dengan para pelamar yang lain.
Melihat pakaian Markonah yang superketat, tiba-tiba Mat Jebol berceletuk, “Wah, gambar bunganya bagus banget,” canda Mat Jebol. Mendengar hal tersebut, Markonah hanya senyum-senyum saja.
Mendengar celetuk Mat Jebol, selera humor Marhapik tiba-tiba datang. Dengan santainya dia juga berceletuk, “Potnya juga bagus kayaknya,” celetuk Marhapik disambut gelak tawa seisi ruangan tersebut.
Markonah yang semula senyum, sontak merah wajahnya. Namun karena melihat kesabaran serta (mungkin) kecerdasan  Markonah, akhirnya Marhapik meloloskannya untuk menjadi  seorang SPG. Kesabaran apa karena potnya yang bagus pik? Hehehehee 

Ahmad Ato’illah dan Mimpinya

Terhadap Dusun Sumbercandik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Jember, Ato’illah telah jatuh cinta. Dia pun senantiasa merawat cinta dan mimpinya di sana.

           Tak mudah untuk tiba di dusun Sumbercandik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk. Jarak dari pusat kecamatan ke dusun ini saja cukup jauh. Sekitar 15 kilometer. Bukan hanya jaraknya yang jauh, medan jalannya pun cukup berat. Menanjak dan penuh batu.
Hampir separuh perjalanan akan melalui jalan aspal rusak dan makadam. Semakin ke atas, jalanan kian menantang. Ketika hujan turun, tanah kental khas pegunungan menambah licinnya jalanan. Jika mengendarai motor, rasa letih akan mendera karena sesekali pengendara harus turun dari motor agar tak terjatuh.
Namun sesampainya di dusun terpencil itu, rasa letih yang semula mendera seakan tuntas terbayar. Hamparan tanah hijau dan hawa sejuk langsung menyambut. Terletak di lereng pegunungan Argopuro, lahan pertanian warga di dusun itu berkontur terasering. Menambah eloknya pemandangan.
 Barangkali segala keindahan itulah yang membuat Ahmad Ato’illah tergila-gila terhadap tempat itu. Baginya, Dusun Sumbercandik adalah salah satu aset berharga yang dimiliki Jember. Karena selain keindahan alamnya, serpihan-serpihan sejarah masa lalu banyak tercecer di sini.
“Bisa jadi, usia Sumbercandik ini jauh lebih tua dibanding dengan Jember sendiri,” kata pria yang sebagian rambutnya telah memutih ini. Di kawasan ini, banyak tersimpan situs-situs peninggalan jaman purba. Seperti situs batu kenong, situs klanceng, situs duplang, hingga Alas Pekarangan. Bahkan, “Ada pemakaman kuno dan banyak ditemukan manik-manik juga,” katanya. Ato’illah kian yakin jika kawasan ini adalah kekayaan Jember yang harus dijaga. Dia pun merasa harus berbuat untuk itu.
Saat pertama kali masuk ke kawasan ini sekitar tahun 2000 silam, hati Ato’illah terenyuh. Hati pria kelahiran Jember, 7 Agustus 1968 ini seakan bergejolak melihat masyarakat yang belum sadar dengan potensi alamnya. Bahkan sebagian dari mereka masih gemar menebang kayu di hutan. Bisa jadi, perbuatan kurang terpuji itu karena pengetahuan dan kesadaran pendidikan mereka yang rendah.
Di dusun ini, tingkat pendidikan masyarakat bisa dikata memperihatinkan. Jangankan yang sudah berumur, yang muda-muda sekali pun jarang mengenyam pendidikan. Bahkan untuk mencari seorang lulusan sekolah setingkat SMP untuk dijadikan kepala dusun saja tidak ada. “Jadi sampai sekarang di sana belum ada kepala dusunnya,“ kata Mulyono, Camat Jelbuk.
Hampir tidak ada akses pendidikan formal di dusun ini pada waktu itu. Untuk sekolah setingkat TK saja, jaraknya bisa belasan kilometer. Apalagi untuk sekolah setingkat SMP atau SMA, harus ke pusat kecamatan Jelbuk. ‘’Selain jauh untuk turun, jalannya rusak. Sehingga tidak ada yang sekolah,’’ kata Misran, salah seorang tokoh warga di dusun Sumbercandik. ‘’Apalagi di sini jarang yang punya kendaraan,’’ imbuhnya.
Pelan-pelan Ato’illah mulai berbuat. Dia mulai berbaur dengan masyarakat sekitar. Namun dengan hanya seorang diri, tentu itu menjadi tantangan yang cukup berat. Karena bukan hal yang mudah untuk mengentaskan orang dari kebiasaannya. Dia pun melakukan sesuatu, yang oleh sebagian teman-temannya waktu itu bahkan dianggap gila dan tak wajar.
Dengan membawa sebuah map, dia mendatangi orang-orang ternama di Jember, mulai dari akademisi, agamawan, pengusaha, hingga politisi. Dia mempresentasikan pentingnya pendidikan di kawasan tersebut. “Saya tidak meminta dana, saya hanya meminta dukungan mereka dalam bentuk tanda tangan,“ jelasnya. Ato’illah berharap, dengan seperti itu, orang-orang itu tahu bahwa harus ada yang diperbuat untuk menjaga kawasan itu.
Di sisi lain, dia terus membagikan ilmu pengetahun kepada anak-anak kecil di salah satu rumah warga. “Awalnya di rumah pak Tin (Misran),“ kenangnya. Itu dia lakukan hingga beberapa tahun kemudian. Keakraban dengan warga pun mulai terjalin. Hingga seiring berjalannya waktu, simpati terhadap apa yang dilakukan oleh Ato’illah berdatangan.
Hingga suatu ketika, dia mendapatkan sumbangan dana dari para dermawan untuk membeli sebuah lahan di salah satu sudut dusun. Di lahan itulah, kelak Ato’illah menjadikannya sebagai pusat pendidikan bagi anak-anak dusun.
Hingga pada awal tahun 2009 silam, sebuah lembaga pendidikan berdiri di lahan itu. Ato’illah menamakannya Taman Pembelajaran Bumi Sulaiman Daud. Inspirasi nama itu diambil dari dua nama nabi dalam islam yaitu Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang dikenal akrab dengan alam. Hal itu tak lepas dari misi Ato’illah dalam kegiatan konservasi alam melalui jalur pendidikan.
Kegiatan belajar mengajar di lembaga ini pun berbeda dengan pakem pendidikan formal. Tak ada kurikulum, tak ada nilai, tak ada raport dan bahkan tak ada ijazah. Di lembaga ini, skil para siswa menjadi satu-satunya yang digenjot. Mereka yang cinta melukis maka akan didorong melukis. Begitu juga mereka yang cinta bercocok tanam atau pun berdagang.
Pelajaran-pelajaran umum, seperti pelajaran bahasa memang juga masih diajarkan. Namun itu bukan hal yang utama. “Tujuan belajar bahasa kan agar mereka bisa menyampaikan pesan dengan baik. Bukan untuk menjadi ahli bahasa,“ katanya. Yang penting baginya, apa yang diajarkan di lembaga itu tidak bertentangan dengan khasanah lokalitas masyarakat setempat.  
Setelah lembaga itu berdiri, Ato’illah semakin intens untuk mengawal pendidikan di dusun itu. Apalagi, dia merasakan banyak pelajaran yang di dapat dari alam dan orang-orang di sana. Orang-orang yang senantiasa mampu menikmati hidup dalam keterbatasan. Hingga seringkali dia tidak pulang ke rumahnya di Jalan Tawangmangu, Sumbersari.  Dia lebih memilih menginap di kampung terpencil itu. Memilih jauh dari keluarganya.
 “Pernah tiga hari tidak pulang ke rumah,“ kata Nurul Farida, istri Ato’illah. Namun farida tahu, apa yang dilakukan suami tercintanya sebuah hal bermanfaat. Farida yakin, suaminya memiliki mimpi mulia untuk diperjuangkan. “Saya sih selalu mendukung,“ kata perempuan berjilbab yang juga seorang guru ini.
Ato’illah pun senantiasa total dalam pengabdiannya itu. Dia tak peduli berapa pun kocek pribadi yang harus dikeluarkan dari kantongnya. Apalagi, hingga saat ini, tak sedikit pun para siswa di sekolah itu ditarik bayaran. Hingga dia pun harus berusaha terus menghidupi lembaga itu. Selain gratis, para siswa di sana bahkan mendapatkan baju dan buku-buku pelajaran secara gratis.
Namun begitu, sering pula Ato’illah kelimpungan kala harus memberi uang transport pada tenaga-tenaga pengajar di lembaga itu. Meski status mereka mengabdi kepada masyarakat, namun Ato’illah senantiasa mencarikan mereka uang saku. Apalagi, sejumlah tenaga pengajar ini jauh-jauh datang dari Jember.
Ato’illah enggan untuk menyebut pemberian kepada guru-guru itu sebagai gaji. ‘’Kalau disebut gaji tidak pantas lah, karena terlalu kecil,’’ kata ayah dari empat orang putra ini. ‘’Dua tahun mereka bertahan mengajar di tempat terpencil seperti itu sudah hal yang luar biasa,’’ sambungnya.
Kini, setelah dua tahun berjalan lembaga itu berdiri, ada keberhasilan-keberhasilan yang sudah dicapai. Sebagian dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga itu sudah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. ‘’Sudah banyak yang melanjutkan juga,’’ kata Misran, yang tokoh masyarakat.
Setelah dua tahun berjalan itu juga, ternyata ganjalan belum sepenuhnya usai. Beberapa waktu lalu, dua tenaga pengajar yang selama ini membantu Ato’illah ternyata mengundurkan diri. Dia pun kini lebih sibuk karena harus memberikan pendidikan seorang diri. Untunglah, beberapa kawan di Jember yang peduli terhadap pendidikan bersedia membantunya. “Rencana bersama dengan teman-teman kita bikin jadwal piket mengajar,“ ungkap lulusan tahun 1990 fakultas pertanian Unej ini.
Meski benih-benih keberhasilan itu sudah terlihat, namun Ato’illah sadar, banyak tantangan yang masih harus dilalui. Misalnya bagaimana kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan kian ditumbuhkan. Masyarakt harus tahu tentang potensi diri dan lingkungan mereka yang luar biasa itu.
Apa yang dilakukan Ato’illah itu demi sebuah mimpinya. Bahwa suatu saat kelak, dusun indah itu akan menjadi salah satu kawasan wisata membanggakan milik Jember. Dan masyarakat di sana bukan hanya sebatas objek, tapi sekaligus subjek. “Mereka tidak terasing di tanahnya sendiri,” harapnya.
Hingga kini, Ato’illah senantiasa merawat dan memperjuangkan mimpinya itu. Terlepas terwujud atau tidak, itu tidak lagi penting baginya. “Keberhasilan atau kegagalan itu bukan tujuan. Tapi bahwa kita telah berbuat, kita telah melakukan, itulah tanggung jawab kita,“ tegasnya. Baginya, sebagai manusia, bermanfaat bagi manusia lainnya merupakan salah satu bentuk tanggung jawab.

Kamis, 19 Mei 2011

Orang-orang di Tebing Bukit

Hidup di sudut terpencil, di kemiringan tebing dan penuh keterbatasan, orang-orang ini tak lagi punya banyak pilihan. Mereka ‘dipaksa’ mengakrabi ketakutan dan ancaman.
                                                                                                                             
Dusun Krajan, Desa Sucopangepok, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember masih begitu asri. Tak ada kebisingan di jalanan desa yang tak seberapa lebar itu. Hijaunya lereng pegunungan argopuro menambah eloknya dusun itu. Namun di balik segala keindahannya, ancaman bencana setia mengintai warga di sana.
            Senin, 28 Februari malam, dusun itu lebih sunyi dari biasanya. Jarum jam menunjuk ke angka delapan. Hujan masih tak reda sejak siang hari. Di ruang tamu rumahnya yang tak berkeramik, Satroli, pria renta kelahiran tahun 1951 itu tengah mengaso. Duduk di kursi tua yang catnya sudah pudar dimakan usia. Melepaskan diri dari deraan penat seusai mencari rumput untuk sapi-sapinya. Sementara di luar rumah, malam semakin dingin.
            Dihisapnya dalam-dalam lintingan tembakau kesukaannya. Susyati, istrinya, berbaring di lantai. Menyaksikan layar televisi yang usang. Di rumah mungil di lereng gunung itu, ruang tamu dan ruang santai keluarga sekaligus menjadi satu. Tak ada kegaduhan apa-apa hingga detik itu; Satroli masih asik dengan lintingan tembakaunya, Susyati terus memandangi layar televisi.
            Hingga sejurus kemudian, kepanikan tiba-tiba mendera. “Saya mendengar pohon-pohon bambu patah di atas sana,” kenang Satroli dalam bahasa Madura. Sunar, menantunya langsung mengecek bunyi itu. Di tengah derasnya hujan, dia naik ke atas tebing. Sesampainya di lokasi, dia melihat pohon-pohon bambu telah rubuh diterjang longsor.
            Dari tempatnya berdiri, dia melihat langsung longsoran yang semakin membesar. Batu bercampur lumpur dan pasir terjun bebas dengan deras. Tepat di hadapannya. “Bukan hanya batu, pohon-pohon juga,” ingat Sunar. Dia gemetar. Kemudian bergegas turun. Memastikan bahwa rumahnya aman.
            Sesampainya di bawah, dia melihat longsoran itu telah tiba lebih dulu. Bagian sisi sebelah kiri rumahnya telah tertutupi material longsor setinggi sekitar dua meter. Begitu juga dengan halaman rumah. Meski begitu, rumah sederhana itu masih kokoh berdiri.
            “Waktu itu saya sudah keluar rumha sama istri,” kata Satroli. Di rumah lainnya, Murni, anak keempatnya beserta dua cucunya juga sudah berada di lokasi yang aman. Satroli bersukur, longsor itu tak merubuhkan satu-satunya rumah miliknya. Lebih dari itu, seluruh keluarganya masih selamat.
            Tak beberapa lama setelah longsor, hujan mereda. Merasa kondisi sudah aman, dia memberanikan diri masuk ke rumah. Air bercampur lumpur juga telah masuk ke ruang tamu tempat biasa dia bersantai. Bapak dari lima anak ini tertegun. Tak ada yang dia lakukan waktu itu. Ketakutan dan kelegaan telah campur aduk dalam dirinya.
            Sekitar jam 9 malam, ponakannya yang tinggal di dusun sebelah datang menyambangi. Sejak malam itu, dia dan seluruh keluarganya tinggal di rumah ponakannya itu. “Sekitar satu bulan saya tidur di rumah ponakan,” tuturnya.
            Sudah sekitar satu bulan ini, Satroli sudah kembali tinggal di rumah mungilnya. Terlihat jelas sisa-sisa longsor saat RJ berkunjung ke sana; tumpukan pasir di halaman, bekas tanah liat di ruang tamu hingga lahan pertanian di samping rumahnya yang rusak diterjang longsor. Di lahan itu, Satroli biasa menanam jagung untuk tambahan pendapatan.
Kini, Satroli, memang telah kembali pulang. Mengarit rumput untuk sapi-sapinya dan menghabiskan masa tuanya di rumah mungilnya itu bersama keluarga tercinta. Di sebuah dusun sunyi. Tepat di bawah tatapan bukit yang masih rawan itu.   
Di dusun Pakel, sekitar 5 kilometer di atas rumah Satroli, longsor juga akrab dengan warga di sana. “Itu di sana, sawah banyak yang rusak,” kata Jasmani, 45, seraya menunjuk sawah yang tertimbun material longsoran milik Juhairiyah, tetangganya. Lahan-lahan padi yang seharusnya dipanen dengan suka cita itu akhirnya gagal.
            Tak hanya milik Juhairiyah, longsoran juga telah menerjang banyak lahan-lahan pertanian milik warga lainnya. Namun Jasmani tak habis pikir, sampai saat ini tak ada bantuan datang. “Kalau dulu masih sering ada bantuan. Tapi kalau sekarang sudah nggak ada,” katanya dengan logat Madura yang masih kental.
            Sudah bertahun-tahun mereka menjadi saksi longsoran tebing. Semakin lama, semakin sering longsor terjadi di daerah ini. Tak terhitung sudah berapa banyak lahan warga yang rusak akibat longsor. Namun begitu, di sini longsor tak hanya merusak tanaman. Lebih dari itu, longsor acapkali mengancam jiwa warga.
Sabtu, 26 Februari sekitar jam 7 malam, gemuruh runtuhnya batu dan tanah dari tebing membuyarkan saat santai Nawaroh dan keluarganya. Nyaris saja, derasnya longsor yang tiba-tiba itu, hanya berjarak sekitar empat meter dari dinding samping rumahnya. Nawaroh gentar. Baru kali ini longsor begitu dekat dengan rumahnya.
Takut ada longsor yang lebih besar, bersama suami dan dua orang putranya dia mengungsi ke tempat yang lebih aman. “Ngungsi ke kebun kopi,” ungkapnya. Tak hanya keluarganya, empat keluarga lainnya terpaksa tidur di kebun malam itu. Tentu itu menjadi pilihan terbaik. Dinginnya malam di kebun dan mungkin serbuan nyamuk tentu masih lebih baik dibanding reruntuhan material longsor.
Malam-malam selanjutnya, mereka masih tak berani pulang. Untuk sementara waktu, mereka menginap di rumah saudara yang lebih aman. Tentu dia harus kembali pulang ke rumah. Tak mungkin tinggal di tempat saudaranya terus menerus. Dia tak mau menjadi beban.
Satroli, Nawaroh dan mungkin semua orang di lereng gunung itu tahu akan ancaman bencana yang terus mengintai mereka. Namun tak banyak yang bisa mereka perbuat. mereka tak lagi punya pilihan. “Saya tidak punya tanah lain untuk ditinggali,” kata Nawaroh.
Sebenarnya, jauh di dalam diri, terbersit mimpi memiliki sebuah rumah yang nyaman ditinggali. jika kelak ada program relokasi, tentu mereka akan menyambut dengan senang hati. “Asalkan semua juga dipindah,” pinta Nawaroh.
Bagi Nawaroh, lokasi rawan longsor yang dia tinggali saat ini, bukan sekedar tempat di mana rumahnya berdiri. Tapi di lokasi itu pulalah, dia mencari nafkah. Bersama suami, dia menanam kopi, jagung serta komoditas lain yang penting menghasilkan uang. “Kalau saya dipindah, saya tetap kerja di sini. Tiap hari kan bias naik (untuk kerja, red),” jelasnya
Nawaroh tak tahu pasti berapa usianya kini. Dia hanya ingat, sejak lahir sudah tinggal di tempat itu. Nawaroh ingat, saat kecil hutan di lereng gunung samping rumahnya masih rimbun. Namun sejak Soeharto turun tahun 1998, hutan-hutan mulai gundul. Warga mulai berani membuka hutan untuk lahan pertanian. Pohon-pohon besar sudah banyak berganti tanaman kopi dan komoditas pertanian lainnya.
Barangkali itulah yang membuat kawasan ini makin labil. Lebih mudah longsor. Namun, sekali lagi, Nawaroh dan mungkin orang-orang di sana tak punya pilihan lain. Berladang di lahan yang sebelumnya hutan itu merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka. Nawaroh hanya berharap; keselamatan masih menyertainya dan Tuhan akan mengabulkan itu.
Sementara di luar sana, longsor masih setia mengancam

Rabu, 18 Mei 2011

Anak-anak dan Hutan

Anak-anak itu lahir, tumbuh dan menghabiskan masa kecilnya di hutan. Meski tak pernah ada jaminan, kelak mereka masih mewarisi rimbunnya hutan.

            Selembar kain berwarna gelap menutup rapat mata Wilian Fransisco. Di dadanya tertempel selembar kertas bertuliskan ‘elang’. Dengan pandangan terhalang dia berjalan perlahan. Menghampiri teman-temannya yang matanya juga tertutup dan di dadanya juga tertempel selembar kertas bertuliskan tikus, ikan hingga racun.
            Wilian adalah siswa kelas IV di SDN 03 Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jawa Timur. Siang itu, Rabu (27/04), di halaman sekolahnya, bocah kelahiran 1992 ini sedang memerankan diri menjadi seekor elang lapar. Dengan mata tertutup itu, dia harus menangkap salah satu temannya yang di dadanya bertuliskan ikan atau tikus, makanan kesukaan elang.
            Wilian masih berputar-putar. Meraba-raba. Berharap ada seorang temannya yang berhasil dia tangkap. Tepuk sorak anak-anak lainnya menambah semangat Wilian ‘berburu’. Wilian semakin agresif. Hingga selang beberapa saat kemudian, usahanya membuahkan hasil. Titin, berhasil direngkuhnya.
            Wilian tak lagi sabar. Dibukanya kain yang menutup matanya itu. Memastikan bahwa tangkapannya benar. Namun, kali itu Wilian harus menelan pil kekecewaan. Kertas yang tertempel di baju putih Titin ternyata bertuliskan racun. Si pemandu permainan menjelaskan bahwa tangkapannya keliru. Elang tidak makan racun. Tapi makan ikan atau tikus.
Wilian memang kecewa karena tak berhasil. Tapi kekecewaannya siang itu terlalu kecil dibandingkan dengan pengetahuan besar yang baru dia dapatkan. Wilian pun kini tahu tentang rantai makanan hewan. Tanpa sadar, permainan sederhana ini bisa menjadi bekal berharga baginya untuk tidak semena-mena memperlakukan alam dan isinya.
Tapuk tangan dan aba-aba dari pemandu permainan seketika membuyarkan kekecewaan Wilian. Dia kembali bergabung dengan teman-temannya. Bersenang-senang. Membentuk lingkaran di halaman sekolah yang luas itu. Tiba-tiba Budi Santoso, pemandu permainan berteriak, “Satu kali tepuk hutan,” serunya. Dengan lantang, bocah-bocah SD itu berteriak kemudian bertepuk tangan. “Hu..plok, plok, plok. Tan.. plok, plok, plok. Hutan..” sambut mereka serempak.
Tepuk hutan itu beberapa kali diulangi. Ketika Budi menyerukan ‘tepuk hutan’, bocah-bocah itu kembali dengan sigap menyambutnya. Ada harapan kecil dari permainan itu. Kata hutan sedikit demi sedikit tertanam kuat dalam benak Wilian dan kawan-kawannya. “Anak-anak ini yang diharapkan bisa menjaga hutan. Karena nantinya mereka yang akan mewarisi hutan,” kata Budi, pria yang menjadi anggota Konservasi Alam Indonesia Lestari – Lembaga Alam Tropikal Indonesia (KAIL-LATIN) ini.
Kesadaran akan pentingnya ekosistem dan keberlangsungan hutan diharapkan tertanam pada diri anak-anak ini melalui hal-hal sederhana. Seperti permainan-permainan tadi. Namun, tak semuanya sederhana, ada juga hal-hal serius yang dipelajari. Salah satunya adalah mengenali berbagai macam tanaman yang banyak tersebar di hutan dekat rumah mereka.
Mereka diajarkan mengenal tanaman MPTS (multi purpose trees seeds) atau tanaman serbaguna, seperti petai, asam, kemiri hingga durian. Setelah itu, mereka langsung melakukan aksi penanaman di belakang sekolah. Kelak, jika tumbuh besar, tanaman itu akan menjadi saksi bahwa mereka pernah mengenyam pendidikan di sekolah terpencil itu.
Sederhana memang. Tak perlu biaya besar seperti seminar-seminar tentang konservasi alam yang kerap digelar di gedung-gedung mewah atau di lobi-lobi hotel. Tapi, berawal dari kesederhanaan ini, masa depan ibu bumi, laskar pepohonan, hingga si mungil rumput dan lumut bisa tetap lestari. Lagipula, aksi itu jelas-jelas langsung dilakukan saat itu juga. Tak perlu menunggu hasil rapat atau hasil seminar. Bahkan tak perlu menunggu wartawan untuk meliputnya.
Begitu membumi. Bocah-bocah yang hidup di kawasan hutan itu akhirnya tahu lebih dini tentang pentingnya keberlangsungan hutan. Di antara bocah-bocah polos itu, bisa saja ada putra atau putrid, orang-orang yang selama ini hidup dari hutan. Melalui penebangan liar, misalnya. Tapi seperti kertas putih, hal-hal baik harus ditabalkan pada diri mereka. “Anak-anak itu seperti kertas putih. Paling tidak kita sudah berbuat. Nantinya lingkungan yang akan membentuk mereka,” imbuh Budi.
SDN 03 Andongrejo sendiri berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Pantai Bandealit yang memesona itu juga berada di desa ini. Banyak orang lebih familiar dengan pantai indah itu dibandingkan nama desanya sendiri.
Meski berada di kawasan hutan, namun cukup ironis, di sekolah itu tak ada muatan lokal utamanya terkait konservasi hutan. “Kegiatan ini mendukung sekali bagi anak-anak di sekolah dan masyarakat di sekitar biar mengerti pentingnya hutan,” kata Poniman, salah seorang guru.
Hutan di Meru Betiri merupakan salah satu hutan tropis dataran rendah di pulau Jawa yang masih rimbun. Kayu-kayu besar di sana masih rapat. Ekosistem masih terawat. Beberapa binatang dan tumbuhan langka, seperti bunga bangkai (Raflesia zoolingerianan), elang Jawa (Spizateus bartelsi), penyu hijau (Chelonia mydas) hingga macan tutul (Panthera pardus) berhabitat di sana.
Lebih dari itu, ada yang meyakini, harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) yang misterius itu masih berkeliaran di hutan seluas 58 ribu hektar ini. “Kalau berdasarkan penelitian tahun 2006 lalu, data-data sekunder seperti kotoran dan jejak masih ditemukan,” kata Dodit, petugas TNMB.
Balai TNMB juga mencatat, fauna yang terdapat di hutan Meru Betiri sebanyak 217 jenis. Terdiri dari 92 jenis yang dilindungi dan 115 jenis yang tidak dilindungi. Jumlah sebanyak itu meliputi 25 jenis mamalia (18 di antaranya dilindungi), 8 reptilia (6 jenis dilindungi) serta 184 jenis burung (68 di antaranya dilindungi).
Namun, ancaman terus mengintai keberlangsungan kekayaan hutan Meru Betiri. Alih fungsi (deforestasi) dan degradasi hutan masih saja terjadi di sana. Bahkan, 4.050 hektare areal hutan menjadi zona rehabilitasi karena sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan maupun pertanian masyarakat.
Kasus illegal logging di TNMB juga masih saja terus terjadi. Bahkan, illegal logging menjadi kasus tertinggi di kawasan konservasi ini dibandingkan dengan kasus-kasus lain, seperti perburuan satwa.
Data TNMB merekam, pada tahun 2010 lalu, terdapat 41 kasus illegal loging. Tahun 2009, terdapat 58 kasus. Sementara jumlah kasus tertinggi selama 6 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008 dengan total 65 kasus.
Masih terjadinya illegal logging di kawasan konservasi ini cukup ironis. Karena kawasan TNMB telah menjadi salah satu pilot percontohan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD), sebuah upaya mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global melalui pelestarian hutan
Namun, tak pernah ada kata terlambat. Setidaknya anak-anak itu kini lebih tahu arti penting hutan. Anak-anak yang tumbuh besar di dalam lebatnya rimba itu pulalah yang kelak akan mewarisi hutan. Meski tak pernah ada jaminan, kelak hutan itu masih rimbun atau tidak..

Foto: kabarindonesia.com            
             

Sebuah Catatan dari Ekspedisi Argopuro 2011

Dari Baderan, Trekking 63 Km

LANGIT Jember malam itu cukup cerah. Kamis 28 Maret, seusai Maghrib, sebagian Tim Ekspedisi Argopuro sudah berkumpul di kantor Bidang Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Wilayah III Jember di Jalan Jawa. Selain saya dan Heru Putranto (fotografer Radar Jember) serta petugas BKSDA, dua anggota pecinta alam dari IWENA, UKM pecinta alam (PA) Universitas Mohammad Seroedji dan SWAPENKA, UKM  PA Fakultas Sastra Universitas Jember (Unej) juga turut serta dalam ekpedisi.
 Sesaat sebelum berangkat, kami mendapatkan sebuah kejutan. Sunandar, kepala BKSDA Wilayah III Jember memutuskan untuk ikut dalam ekspedisi ke Argopuro. Keputusan yang terbilang langka. Tak biasanya seorang kepala bidang sepertinya bersedia berpayah payah naik turun gunung, keluar masuk rimba belantara. Apalagi, terlibat penuh dalam sebuah ekspedisi di alam terbuka.
            Jarum jam sudah mengarah ke angka 19.30. Perlengkapan ekspedisi sudah di-packing. Lalu, berbagai perlengkapan dan logistik ekspedisi dinaikkan ke bak pick up warna hijau tua milik BKSDA. Sesaat kemudian, menggunakan mobil Panther, tim ekspedisi meluncur.
Perjalanan dari Jember ke Besuki, Situbondo, kota eks karesidenan yang tidak terlalu jauh lagi dari Baderan, titik pemberangkatan ekspedisi, hanya ditempuh sekitar 1,5 jam lamanya. Sekitar pukul 21.00 kami mampir sejenak di sebuah rumah makan untuk mengisi perut.
            Dari rumah makan itu, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan Besuki menuju Desa Baderan, Kecamatan Sumbermalang. Di desa inilah kantor Resor Konservasi Wilayah Situbondo berada. Setiap pendaki yang akan menjelajahi Argopuro wajib untuk melaporkan diri di pos ini.
Setelah melalui jalan menanjak dan penuh kelokan, tim ekspedisi tiba di Baderan. Jalanan sudah sepi. Suasana lengang. Hawa dingin menemani tim memasuki desa itu. Rumah-rumah warga telah terkunci. Deruman mobil yang kami tumpangi menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan malam itu. Tepat pukul 23.15, kami tiba di kantor resor.
Sesaat setelah keluar dari mobil, dinginnya malam menyergap kulit kami. Setelah barang-barang diturunkan, kami menyegerakan masuk ke dalam kantor. Berniat menghangatkan tubuh, namun hal itu tak banyak membantu. Di dalam kantor yang separuh dindingnya terbuat dari kayu itu dingin tak jua hengkang. Akhirnya, kami membalut badan dengan jaket. Untuk mengusir dingin, kopi panas menemani malam pertama kami di Baderan.
Bagi Mohammad Susiono, hawa dingin yang menggigit itu tak berarti apa-apa. Maklum, sudah bertahun-tahun dia tinggal di desa terpencil ini. Sejak 2002 dia menjabat kepala Resort KSDA Wilayah Situbondo. Di kantor yang lebih akrab disebut pos Baderan ini, dia dibantu oleh seorang stafnya, Suryadi, serta seorang pam swakarsa bernama  Samhaji. 
            Selama delapan tahun bertugas di Baderan, Susiono begitu paham dengan jalur pendakian Argopuro. Bahkan dia pernah mengukur jarak tempuh pendakian Baderan – Bermi, titik akhir ekspedisi ini di Probolinggo. “Saya pernah ukur jarak Baderan – Bermi sekitar 63 kilometer,” kata pria kelahiran 1963 ini.
            Melakukan pendakian ke puncak Argopuro yang masuk kawasan Suaka Margasatwa (SM) Dataran Tinggi Yang ini bisa dilakukan dari dua titik. Yakni, bisa dari Desa Baderan, Sumbermalang, atau Desa Bermi, Kecamatan Krucil, Probilinggo. Trek pendakian Argopuro memang membentang di kedua titik itu laksana jalan satu arah. Kalau tim ekspedisi naik dari Baderan, maka akan turun di Bermi. Begitu pula sebaliknya.
Konsekuensi dari karakter trek pendakian seperti ini adalah jalur pendakian menjadi sangat panjang. Bahkan, jalur pendakian Argopuro diyakini yang terpanjang diantara gunung-gunung lain di Pulau Jawa.
            Kendati memiliki dua jalur pendakian, banyak pendaki yang memulai pendakian dari Baderan. “Sekitar 60 persen pendaki melalui pos Baderan,” ungkap Susiono. Sebab, trek pendakian dari Baderan lebih bersahabat bagi pendaki, khususnya pendaki pemula atau amatir.
             Jika melalui Baderan, pendaki memang disuguhi jalur yang cukup panjang. Bahkan, untuk sampai ke Cikasur (biasanya tempat ngecamp pertama), perjalanan menghabiskan waktu seharian penuh. Namun, jalur panjang itu tak banyak menyuguhkan trek-trek menanjak nan terjal. “Karakterisitiknya landai. Kemiringan hanya berkisar 10-40 derajat,” jelas Susiono.
            Jalur Baderan ini sangat komtras dengan jalur pendakian dari Bermi. Sebagian besar menuju puncak Pegunungan Argopuro di jalur ini menanjak dan terjal. Di beberapa titik, kemiringan bisa mencapai 60 derajat. Benar-benar jalur yang menguras banyak tenaga dan sangat menguji mental. Di kala musim hujan seperti sekarang, jalur pendakian itu sangat licin.
            Sebagai seorang kepala pos, Susiono memikul tugas yang tidak ringan. Dia harus ngeloni kawasan SM Dataran Tinggi Yang agar kawasan konservasi ini tetap lestari dan tidak dirusak oleh tangan-tangan jahil. Dia harus memastikan siapa pun yang masuk ke kawasan SM harus mengantongi SIMAKSI (surat ijin masuk kawasan konservasi).
            Pos Baderan merekam, pada 2010 jumlah pendaki yang naik ke Argopuro mencapai 1.094 orang. Angka ini melonjak hampir 100 persen daripada tahun 2009 yang hanya 652 orang. Pada 2008 jumlah pendaki sempat berjumlah 831 orang.
Untuk tahun ini, jumlah pendaki yang tercatat sampai April 2011 baru 42 orang. Para pendaki Argopuro tak hanya datang dari tanah air, melainkan banyak pula pecinta gunung dari Eropa dan Amerika yang terpesona untuk bercumbu dengan Argopuro barang beberapa hari.
            Kewajiban untuk melapor ke pos Baderan itu akan sangat memudahkan tugas Susiono untuk melakukan pengawasan terhadap keselamatan pendaki. Selama ini jalur pendakian Argopuro dikenal sebagai jalur pendakian yang berat. Setiap kali bertemu pendaki, Susiono selalu mewanti-wanti, “Apa pun yang ada di kawasan ini jangan diambil.”
            Susiono juga tak takut bersikap tegas kepada pendaki yang mokong atau tidak mengindahkan peringatannya. Terutama, bila menyangkut keselamatan pendaki. Setiap pendaki harus memenuhi standar keamanan pendakian, khususnya ketersediaan perlengkapan. Tenda, sleeping bag, ponco, hingga logistik harus tersedia secara lengkap. Jika tidak memenuhi standar, Susiono tidak segan melarang kegiatan pendakian.
            Setiap kali ada pendaki, Susiono selalu merekomendasikan untuk membawa proter yang sekaligus sebagai guide. Di Baderan, tarif seorang porter berkisar Rp 75 ribu per hari. “Kalau baru pertama naik, kita wajibkan untuk bawa porter,” ungkapnya.
            Tak terasa, dini hari sudah merayap di Baderan. Dingin kian menusuk tulang dan persendian. Di salah satu dinding pos, sebuah poster bergambar harimau Jawa terpampang. Di poster itu tertulis bahwa di kawasan SM Dataran Tinggi Yang hewan langka itu tinggal lima ekor.
Tapi jangan salah, poster itu buatan tahun 1970-an. Keberadaan harimau yang dilindungi UU itu kini menjadi misteri. Entah ada, entah tiada. Kami pun beringsut menikmati sisa malam dibalik jaket tebal dan sleeping bag. Esok hari, perjalanan sepanjang 63 kilometer sudah menanti kami.

Bos pun Ngojek dan Makan Nasi Bungkus

EKSOTISME alam bukanlah satu-satunya hadiah yang diberikan Argopuro kepada setiap pendakinya. Tetapi, Argopuro akan mengajari setiap pendakinya untuk memiliki mental pejuang. Bahwa setiap cita-cita harus diperjuangkan dengan memerah peluh dan keringat.
            Setelah rehat beberapa jam di pos Baderan, pada Jumat (29/4) pukul 05.00 seluruh Tim Ekspedisi Argopuro 2011 sudah bangun dari lelapnya. Persiapan pendakian hari pertama dilakukan.
Di dataran dengan ketinggian 787 meter diatas permukaan air laut (dpl), kami harus segera merasakan air yang sangat dingin. Mengusapkannya ke wajah, mengusir kantuk yang masih enggan beranjak dari kelopak mata. Kopi panas yang telah terhidang sedikit membantu mengusir hawa dingin.
            Armawi, salah seorang porter, begitu sibuk pagi itu. Seluruh perlengkapan ekspedisi dan logistik sudah disiapkannya dengan rapi. Tenda dan matras dimasukkan ke dalam beberapa karung. Tangannya sangat cekatan. Bersama dengan lima porter lainnya, Armawi menjadi salah seorang porter dalam ekspedisi kali ini.
            Anggota tim ekspedisi yang lain juga sibuk. Beberapa barang yang sebelumnya dipakai, seperti jaket dan sleeping bag, kembali dikemas rapi. Barang-barang vital yang dibutuhkan selama perjalanan juga dipersiapkan. “Satu orang bawa dua botol,” kata Dhenny Mardiono, ketua Tim Ekspedisi Argopuro 2011 mengingatkan agar masing-masing anggota tim tidak lupa membawa air mineral.
            Selang beberapa saat, seluruh anggota tim berkumpul membentuk pola lingkaran. Setelah mendapatkan pengarahan dari Sunandar, kepala BKSDA Wilayah III Jember, kami pun memanjatkan doa. Kepala kami tundukkan, berharap ekspedisi di Argopuro berjalan lancar. Tepat pukul 05.45, perjalanan kami mulai. Hup… kami mulai mengayunkan kaki.
            Dari pos Baderan, ada dua jalur awal pendakian. Jalur pertama adalah jalur yang tepat berada di depan pos Baderan. Jika melalui jalur ini, pendaki berjalan kaki dan langsung tembus ke hutan produksi milik Perhutani. Namun, sejak 2006 ada jalur yang lebih cepat.
Uniknya, di jalur kedua ini pendaki bisa naik ojek sampai batas akhir jalan makadam, tepat di bawah batas hutan produksi dan hutan lindung. Kami pun memilih jalur yang kedua ini.
            Satu per satu tim naik ojek. Jika membawa banyak barang, tarif ojek berkisar Rp 20 - 30 ribu. Meski menaiki motor, namun tak sepenuhnya nyaman. Setelah melalui gapura selamat datang di kawasan suaka margasatwa (SM) di pos pertama, sepanjang jalur yang dilalui adalah jalan makadam.
            Setelah sekitar seratus meter dari gapura selamat datang itu, kami memasuki kawasan hutan produksi milik Perhutani. Di sini tidak ada lagi rumah penduduk. Jalanan makin sempit. Yang ada hanya setapak. Sementara, di sebelah kanan terhampar tebing terjal.
Para joki ojek itu cukup terampil mengendalikan kemudi motornya. Seakan tidak memiliki rasa takut, para tukang ojek itu terus menggeber kendaraannya di antara terjalnya tebing. Sesekali kami harus turun dari motor. Jalanan yang licin membuat kami harus berjalan kaki untuk beberapa langkah.
Meskipun berstatus hutan produksi, namun sudah tidak banyak pohon yang tumbuh di kawasan ini. Hektaran lahan di kemiringan itu didominasi tanaman pertanian. Gugusan gunung itu telah gundul merana. Bila dibiarkan, tentu longsor dan banjir banding setia mengintai setiap saat.
            Setelah sekitar 4 kilometer menaiki ojek, kami tiba di batas akhir jalan makadam. Di tempat ini, kami berhenti sejenak di sebuah selter milik Perhutani. Mengistirahatkan tubuh usai menaiki ojek yang ternyata cukup menguras tenaga kami itu.
Selter milik Perhutani itu bukan satu-satunya bangunan yang berdiri di situ. Selter itu ternyata ditemani sebuah gubuk milik Misudin. Pria renta yang tak lagi tahu umurnya ini sehari-hari tinggal di gubuk itu. Bersama istrinya, Busiya, dia menggarap ladang untuk menghidupi dirinya. Misudin tak punya tetangga. Gubuk itu merupakan bangunan terakhir yang dihuni manusia sebelum memasuki lebatnya belantara.
            Tempat tinggal Misudin sangat sederhana. Ukurannya hanya sekitar 3 x 4 meter. Hanya ada dua ruangan di dalamnya. Tempat tidurnya sekaligus menjadi satu dengan dapur. Sementara, di halaman rumahnya sebuah kandang berdiri dengan dua ekor sapi di dalamnya. “Saya memelihara punya orang. Nanti kalau dijual saya dapat bagian,” kata Misudin, pria tidak tak punya keturunan ini.
            Bersama istrinya, Misudin menjalani masa tuanya dalam kesunyian. Sesekali, kegaduhan menghampirinya. Kegaduhan yang ditimbulkan alam. Beberapa bulan silam, gubuknya diterjang puting beliung. Atapnya yang terbuat dari terpal beterbangan. Kegaduhan yang sebenarnya tak pernah dia harapkan. Untuknya, puting beliung itu tidak sampai merenggut jiwanya.
            Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Misudin mengandalkan hasil buminya itu. Di ladang milik Perhutani itu, dia menanam jagung. Tetapi, sudah dua tahun terakhir dia tidak lagi bercocok tanam. Kera-kera dari hutan selalu mengganggunya. Misudin kalah cepat dengan kera dalam memanen jagung di ladangnya.
            Misudin juga telah mencoba menanam tembakau. Tapi apa daya, musuh lainnya datang. Bibit tembakau yang dia tanam dihabisi hama. Bentuknya serupa lintah, berwarna cokelat. Misudin menjulukinya sindil. Misudin sangat benci dengan sindil-sindil yang banyak berkeliaran di rumahnya itu.
            Tak banyak lagi yang bisa dia lakukan sekarang. Dulu, sebelum kera-kera datang menyerbu ladang, Misudin masih sempat menjual pisang. Tetapi kini sudah tidak banyak yang bisa diharapkan. Soal kecepatan memanen, lagi-lagi Misudin kalah dengan kera-kera itu.
Menjual kayu bakar ke sekitar pos Baderan menjadi pilihannya untuk menghidupi diri. Seminggu sekali  dia turun untuk menjual kayu bakar. Seikat kayu bakar dihargai Rp 4.000. Tetapi, tidak banyak kayu bakar yang bisa dibawa pria renta ini.
Paling banyak hanya dua ikat. Hasilnya hanya cukup untuk membeli beras. Sementara, untuk mengobati istrinya yang sudah tiga bulan sakit, Misudin tak bisa berbuat banyak.
Matahari mulai meninggi. Kami harus segera melanjutkan perjalanan. Kali ini sepenuhnya berjalan kaki. Meninggalkan Misudin dan istrinya dalam kesunyian. Kami pun memohon dengan sangat, semoga tidak ada lagi kegaduhan alam yang menggangu masa senja Misudin dan istirinya itu. Semoga…
Beberapa puluh meter dari gubuk Misudin, kami mulai memasuki jalur yang dipernuhi semak belukar. Di kanan kiri jalur ditumbuhi alang-alang setinggi orang dewasa. Alang-alang dan semak belukar itu sedikit melindungi kami dari sinar mentari yang mulai menyengat kulit.
Sekitar pukul 07.35, kami telah berada tepat di batas hutan produksi dan hutan lindung. Meski tidak besar dan tinggi, banyak pepohonan yang mulai tumbuh di lokasi ini. Di ketinggian 1.511 itu, kami beristirahat. Menenggak air mineral yang telah dicampur dengan gula merah. Konon, gula merah bagus untuk mengembalikan stamina ketika melakukan pendakian.
Sembari bersitirahat, kami mengisi perut dengan sebungkus nasi. Semua anggota tim ekspedisi, termasuk porter, mendapatkan jatah yang sama. Lauknya sama pula. Tak terkecuali Sunandar, kepala BKSDA. Mungkin hanya di gunung saja jatah bos dan anak buah benar-benar rata. “Ada yang mau tukar sambal dengan ayam,” canda Sudartono, seorang Polhut dari KSDA Resor probolinggo.
Tanpa sambal, makanan kami waktu itu memang tidak lengkap. Tidak ada pedas yang menggigit lidah kami. Namun, di hutan membuat kami tidak banyak pilihan. “Sekali-kali kita harus menjalani hidup tanpa pilihan. Agar tidak manja,” sambung Suhartono, bijak.
Tentu tidak ada tempat sampah di tempat kami sarapan. Tapi, kami tidak boleh buang sampah sembarangan. Sisa-sisa bungkus nasi dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah plastik. Kemudian dibawa oleh para porter. Teringat sebuah kalimat bijak yang acap diserukan aktivis pecinta alam saat di gunung, “Jangan pernah meninggalkan sesuatu kecuali jejak.”

Tangan-Tangan Jahil di Pohon Tangan

DUA batang pohon dari jenis beringin ini terlihat sangat unik. Besarnya kira-kira dua kali rangkulan tangan orang dewasa. Terletak di hutan lindung (HL) milik Perhutani, pohon ini sangat eye catching. Tidak ada yang tahu persis berapa usia pohon ini. Bila melihat ukurannya sangat sangat besar, besar kemungkinan sudah ratusan tahun.
Tetapi, sesungguhnya bukan sekadar ukurannya yang mencolok mata yang membuat pohon ini menarik. Melainkan, bentuknya pun sangat unik. Setiap jengkalnya sangat menagih untuk dijalajahi oleh mata yang baru melihatnya.
Jarak dua batang pohon ini sekitar empat meter. Tetapi, di bagian atas pohon, kedua batangnya menyatu. Jika diamati dari jauh, mirip sebuah pintu gerbang raksasa. Jalur pendakian yang kami lewati dikangkangi pohon raksasa ini. Setiap pendaki yang menjelajah Argopuro, pasti akan menemukan dan melewatinya.
Melewati diantara dua batang pohon itu kian menegaskan bahwa pohon itu mirip sebuah pintu raksasa. Orang-orang dari Desa Baderan menyebut keunikan alam itu sebagai labeng saketeng. Dalam bahasa Indonesia, artinya pintu gerbang.
Sekilas, labeng saketeng terdiri dari dua batang pohon yang secara alami bergabung menjadi satu di bagian atasnya. Padahal, sesungguhnya labeng seketeng ini terdiri dari satu pohon. Pohon ini hanya memiliki satu batang utama. Sementara, batang pohon lain yang ada di sampingnya adalah akar tunjang yang sampai ke tanah. Karena sudah ratusan tahun, akar tunjang itu pun membesar hingga mirip dengan batang utama pohon.
Kami berteduh sejenak di bawah labeng saketeng. Mengistirahatkan tubuh sembari mengabadikan diri dengan kamera poket. Dua batang pohon yang menjadi satu itu menjadi latar belakang yang indah. Kami terlihat seperti baru saja masuk sebuah pintu raksasa. Alam mengajarkan kepada kami, betapa keunikan itu tercipta tanpa harus ada campur tangan manusia.
Sayang, labeng saketeng tak sepenuhnya bersih dari tangan jahil manusia. Hati saya terenyuh. Betapa banyak tangan-tangan usil yang menggangu labeng seketeng. Di batang pohon, terdapat banyak tulisan, baik yang terbentuk melalui sayatan-sayatan benda tajam maupun tulisan seperti tinta spidol.
Kami tidak tahu mengapa tangan-tangan jahil itu tega menyakiti labeng saketeng. Barangkali, pemilik tangan-tangan jahil itu ingin mengabarkan keberadaan mereka di sana. Bahwa mereka pernah mendaki di jalur itu. Yang pasti, alam memiliki caranya sendiri untuk menyambut hingga merekam jejak para pendaki.
            Setelah beberapa saat menikmati keunikan labeng saketeng, kami melanjutkan perjalanan. Setelah labeng saketeng, tanjakan semakin sering menyambut kami. Bonus berupa jalan yang relatif datar semakin jarang kami temukan. Jarak antar tim ekspedisi mulai renggang. Kekuatan kaki yang tidak sama membuat kami terpisah menjadi beberapa kelompok.
            Setelah tanjakan demi tanjakan kami daki, sayup-sayup terdengar gemuruh air di kejauhan. Semakin dekat, semakin riuh. Nah, gemuruh air itu berasal dari air terjun di mata air pertama, salah satu lokasi bagi para pendaki untuk menambah persediaan air. Setelah sebuah kelokan menanjak, tepat pukul 11.10, kami benar-benar tiba di mata air pertama.
            Selain untuk keperluan mengambil air, mata air pertama seringkali dijadikan tempat ngecamp oleh para pendaki. Namun, dalam ekspedisi kali ini kami sudah memutuskan untuk ngecamp di Cikasur. “Semalam-malamnya kita ngecamp di Cikasur,” kata Dhenny Wardiono, ketua Tim Ekspedisi Argopuro 2011. Di ketinggian 1831 m dpl ini, kami istirahat sembari menyantap biskuit dan membasahi tenggorokan dengan beberapa teguk air.
            Di bawah pohon kami berteduh. Lagi-lagi, kami disuguhi pemandangan unik. Daun pohon itu berbentuk seperti telapak tangan manusia. Lengkap dengan jari-jarinya. Lebih unik lagi, pangkal tangkai daunnya jika dikupas juga mirip dengan telapak tangan manusia. Juga lengkap dengan jari-jarinya. Susiono, kepala resor Baderan menyebut pohon ini sebagai pohon tangan.
            Pohon tangan ini membantu kami bersembunyi dari terik mentari yang menyengat. Seperti sebuah tangan raksasa, rimbun daunnya menjadi tudung bagi kepala kami.
Biskuit sudah disantap. Tenggorokan telah basah. Porter juga telah kembali dari mengisi jeriken di mata air yang teletak di bawah sana. Kami telah siap melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi, ulah tangan-tangan jahil itu kembali menyita perhatian kami.
            Batang pohon tangan dengan diameter kurang dari satu meter itu juga penuh dengan coretan. Salah satu yang paling mencolok adalah tulisan “23-3-11 POLMOB. KRPH, dan POLTER.” Entah siapa yang melakukan tindakan tak elok itu. “Aturan” bahwa jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak telah dilanggar. Pohon tangan telah dijahili tangan-tangan usil.
            Tak jauh dari pohon tangan itu, si cemara gunung (Casuarina Junghuniana) berdiri tegak. Kabut tebal turun. Menghalangi pandangangan pada indahnya air terjun. Hanya gemuruhnya yang mengisi ruang-ruang kosong di telinga kami. Rimbunnya hutan heterogen di tebing sana juga terlihat samar-samar. Padahal jika beruntung, pendaki bisa menyaksikan lutung hitam dan lutung merah berlompatan dari pohon ke pohon.

Surganya Pendaki

SUARA air yang berjatuhan dari tebing di sekitar Mata Air Dua itu terus bergaung di telinga meski kami sudah berjalan menjauhinya. Suara air itu memang menjadi satu-satunya suara yang paling riuh di kesunyian hutan. Jam masih belum menunjukkan pukul 12.00.
Tetapi, di alam bebas semua bisa berubah sangat cepat. Kabut tebal turun dengan tiba-tiba. Membatasi jarak pandang mata kami. Siang itu, kami hanya mampu meraba-raba eloknya air terjun itu. “Air terjunnya banyak. Bukan hanya satu,” kata Susiono, kepala Pos Baderan sembari menunjuk ke tebing sebelah kanan, asal dari gemuruh air terjun itu.
Sayang, memang. Kami tidak bisa menyaksikan keelokan alam itu. Beberapa air terjun yang serupa garis putih panjang membelah tebing terjal. Air terjun-air terjun itu kemudian menjadi satu. Mengalir di Kali Bales yang meliuk-liuk ke arah Besuki.
Selain keindahan itu, keberadaan Mata Air Satu ini cukup penting. Jarak antara Pos Baderan dengan Mata Air Satu ini sekitar 8,9 kilometer. Dengan medan menanjak, jarak ini menjadi terasa sangat jauh. Dan tentu saja menguras persediaan air minum para pendaki. Di Mata Air Satu inilah, para pendaki bisa mengisi ulang persediaan air untuk kali pertama.
Bagi pendaki gunung, ketersediaan air adalah hal yang sangat vital. Terkurasnya banyak energi saat mendaki membuat tubuh memerlukan banyak asupan mineral. Bila tidak, bisa dehidrasi.
Soal ketersediaan mata air, jalur pendakian Argopuro adalah jagonya. Meski dikenal sebagai jalur pendakian terpanjang, ketersediaan sumber mata air cukup melimpah. Tidak heran jika para aktivis pecinta alam (PA) menyebut Argopuro sebagai surganya para pendaki.
“Kalau mau belajar manajemen air, di Gunung Raung,” ungkap Rico Panca, Ketua PA Iwena Universias Mohammad Sroedji. Untuk muncak di Raung, masing-masing pendaki harus membawa minimal 15 liter air. Itu karena jalur pendakian ke puncak Raung tidak ada satu pun mata air yang bisa dimanfaatkan pendaki. Saat kehabisan air, sering kali pendaki memanfaatkan embun yang tersisa atas pucuk-pucuk daun.
Mendaki di Argopuro segalanya terasa lebih mudah dan indah. Pendaki tak perlu membawa berliter-liter air. Saat persediaan air habis, pendaki tinggal mengisi ulang di sumber-sumber mata air yang banyak terdapat di sepanjang jalur pendakian.
Di sepanjang jalur pendakian, para pendaki sedikitnya akan menjumpai tujuh titik tempat ’isi ulang’ air. Setelah Mata Air Pertama, pendaki bisa mengisi ulang air di Mata Air Kedua. Tak usah dimasak. Langsung teguk saja. Airnya masih jernih. Dingin seperti baru dikeluarkan dari lemari es.
Dari Mata Air Kedua ini, pendaki bisa langsung jos menuju Cikasur yang biasanya digunakan sebagai tempat ngecamp pertama. Di sini pendaki bisa berpuas-puas diri menikmati suguhan air di Sungai Kolbu. Begitu juga ketika ngecamp di Cisentor, jernihnya air di sungai itu siap menuntaskan dahaga para pendaki.
Selanjutnya adalah mata air Rawa Embik. Mata air ini adalah yang tertinggi di sepanjang jalur pendakian. Jarak dengan puncak Argopuro tinggal 2,5 kilometer. Mata air Rawa Embik berada di ketinggian 2.773 m dpl. “Kalau di luar jalur pendakian, masih ada yang lebih tinggi,” ungkap Susiono.
Di jalur turun dari Cisentor menuju Bermi, pendaki juga masih disuguhi dengan beberapa lokasi ’isi ulang’ air. Diantaranya, aliran sungai Aing Kenik dan Danau Taman Hidup. “Banyaknya mata air, savana, tumbuhan yang bisa dikonsumsi, bahkan danau ada, akhirnya disebut surganya para pendaki,” kata Rudi Hartono, anggota PA Swapenka Fakultas Sastra Universitas Jember (Unej).
            Jumat tengah hari itu perjalanan kami masih panjang. Kami baru menyelesaikan setengahnya saja untuk sampai ke Cikasur. Gemuruh air terjun di Mata Air Pertama seperti menjadi nyanyian pengantar agar kami segera melanjutkan perjalanan. Tanjakan demi tanjakan kami akrabi kembali. Riuh air terjun mulai terdengar sayup-sayup. Kemudian, hilang di tengah rimbunnya rimba.
            Sekitar satu kilometer melalui jalur penuh tanjakan, kami tiba di Persimpangan Taman Kursi. Nama persimpangan ini merujuk nama sebuah desa bernama Taman Kursi yang masuk Kecamatan Sumbermalang, Situbondo. “Orang-orang di sana banyak merantau. Kerja keluar pulau,” kata Armawi, salah seorang porter.
            Dari Desa Taman Kursi, pendakian ke Argopuro memang bisa dilakukan meski akan memakan waktu yang lebih lama. Jalur pendakian dari Taman Kursi hingag ke persimpangan itu hanya digunakan warga di sana untuk muncak. Mereka melakukan nyadran atau selamatan di puncak Rengganis.
            Titik Persimpangan Taman Kursi juga menjadi batas antara Hutan Lindung dan Kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang (SM-DTY). Saat ditetapkan pada 15 Mei 1962, luas awal suaka margasatwa ini hanya 14.145 hektare. Setelah rekonstruksi batas pada 1986, luasnya kini mencapai 14.177 hektare.
            Kawasan seluas itu melingkupi empat Kabupaten. Yaitu Probolinggo, Jember, Situbondo, dan Bondowoso. Areal terbesar ada di Kabupaten Probolinggo. Kawasan SM ini juga disebut-sebut sebagai hutan tropis dataran tinggi yang terluas di Pulau Jawa.
“Setidaknya kawasan SM ini menjadi penyuplai air yang masih alami bagi empat kabupaten,” kata Sunandar, kepala BKSDA. Untuk itu, menjaga segala anugerah itu harus terus diupayakan dengan menjaga keberlangsungan lebatnya hutan.
Tiba-tiba, mentari seperti mengusir kabut siang itu. Di Persimpangan Taman Kursi, di ketinggian 1.984 m dpl itu kami melemaskan otot betis. Berteduh di bawah pohon, persediaan makan siang kami bongkar. Lalu kami santap di bawah rindangnya pohon. Siang itu terasa sangat nikmat. Air yang kami bawa dari Mata Air Pertama juga masih terasa dingin di tenggorokan.

Ledeboer, Bandara, dan Rusa Penyuka Garam

TREK menanjak di punggungan cemara Cemara Panjang itu benar-benar menguras tenaga. Setelah dua kilometer beranjak dari batas kawasan SM, kami tiba di Mata Air Kedua. Tak banyak waktu kami habiskan di tempat ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.30. Sebisa mungkin kami harus menghindari pendakian di malam hari yang tentu akan lebih berat.
Setelah melalui trek yang kembali menanjak di puncak cemara lima, kami akhirnya menjumpai sebuah savana. Alun-alun kecil. Begitu tempat itu disebut. Sebuah gradasi warna menakjubkan langsung menyambut kami. Lebatnya hutan cemara berganti dengan ruang terbuka di hadapan mata.
Setelah savana alun-alun kecil itu, ternyata trek menanjak belum sepenuhnya usai. Terjalnya Gunung Jambangan telah menanti. Kami harus melaluinya. Sekitar pukul 14.30, hujan mulai turun. Hujan, semak-semak di jalur setapak, tas carrier, serta ponco yang kami kenakan menambah berat langkah kaki untuk menaklukkan punggungan Jambangan itu. Tim ekspedisi mulai terpisah menjadi beberapa kelompok.
Trek di Gunung Jambangan itu merupakan trek menanjak terakhir. Setelah itu, jalur mulai bersahabat. Savana demi savana semakin kerap menjumpai. Beberapa kali kami mengira sudah tiba di Cikasur. Karena selama ini Cikasur memang identik dengan padang savana yang cukup luas. Namun, savana-savana yang kami temui itu ternyata Cikasur ’palsu’.
Baru sekitar pukul 17.30, kami tiba di alun-alun besar. Sebuah savana cukup luas menyambut. Jauh lebih luas dibanding yang sebelumnya. Disini kami tak ’tertipu’ lagi. Setelah melalui jalur di alun-alun besar yang licin karena hujan itu, kami melintas di dinginnya Sungai Kolbu. Sebuah Cagar Alam seluas 8,8 hektare.
Selter Cikasur yang biasanya menjadi camping ground para pendaki telah terlihat. Para porter telah tiba di sana terlebih dahulu. Sebuah api unggun telah menyala. Satu per satu tim ekspedisi berdatangan. Kelompok terakhir tiba sekitar pukul 19.00. Kami langsung menggerombol di samping api unggun untuk menghangatkan diri.
Selain tempat para pendaki melepas lelah, Cikasur menyimpan sejarahnya sendiri. Belanda yang menjajah Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya juga tertarik dengan segala keindahan alam Cikasur. Belanda pun berniat mengembangkan daerah ini, meski tidak sepenuhnya berhasil.
Tahun 1907, A.J.M Ledeboer, seorang berkebangsaan Belanda ditunjuk pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan pengembangan di Cikasur. Dia adalah Administrator Perkebunan Kopi Wadoeng Barat maatschappij di Bermi. Salah satu fokusnya adalah penangkaran rusa (Cervus Timorensis). “Ledeboer melakukan penangkaran rusa secara alami,” kata Susiono, kepala kantor resor Baderan.
Ledeboer adalah seorang Belanda yang sangat visioner. Mimpinya terhadap pengembangan habitat rusa di Cikasur cukup besar. Pada tahun-tahun pertamanya di Cikasur, Ledeboer melakukan perburuan terhadap hewan-hewan predator. Macan tutul, kucing hutan, dan anjing liar banyak yang mati kala itu.
Tak hanya itu, Ledeboer juga mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk memberikan hukuman berat bagi mereka yang tertangkap memburu rusa. Upayanya berhasil. Perkembangan rusa meningkat tajam di daerah ini. Rusa-rusa di Dataran Tinggi Yang mencapai diatas 50 ribu ekor.
Ketajaman visi Ledeboer tak berhenti disitu. Sekitar 1940, Ledeboer membikin gebrakan fenomenal. Di ketinggian 2.215 m dpl itu, dia membuat akses transportasi ke Cikasur. Sebuah bandar udara dibangun. Lebar mencapai 100 meter dengan panjang 900 meter. Ledeboer benar-benar menghabiskan banyak uang untuk itu.
Keindahan alam Cikasur juga menggodanya untuk mendirikan pusat rehabilitasi kesehatan di tempat ini. Cuaca dingin serta udara bersih Cikasur memang sangat cocok untuk pendirian sebuah sanatorium atau rumah sakit paru-paru. “Bangunan-bangunan itu rencananya untuk penginapan,” kata Susiono, menunjuk ke reruntuhan bangunan di belakang selter yang kami tempati.
Sayang memang, mimpi besar Ledeboer tak sepenuhnya terwujud. Tahun 1943 Jepang datang. Dia ditangkap. Segala fasilitas, rumah, dan bandara yang dia dirikan di Cikasur dirusak Jepang. Penangkaran rusa terbengkalai. Perburuan rusa kembali terjadi. Kebakaran hutan juga menjadi penyebab banyaknya rusa-rusa yang musnah. Ledeboer dan mimpi besarnya tak sepenuhnya tuntas.
Sabtu pagi, Cikasur begitu dingin. Reruntuhan di belakang selter kami membisu. Di kejauhan, di sebelah barat, dua bangunan runtuh milik Ledeboer telah tua dan penuh lumut. Pagi itu, tim dari BKSDA bersiap dengan balok-balok kayu dengan lubang di atasnya. Mereka hendak melakukan pembinaan habitat rusa.
Balok-balok itu di tancapkan di beberapa titik. Di atasnya diisi beberapa bungkus besar garam. “Ini tempat untuk asinan garam. Rusa membutuhkan garam untuk memperkuat tanduknya. Kalau kena hujan, nanti kayu-kayu ini dijilati rusa,” kata Dadang Sujana, Bagian Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BKSDA. Semakin minimnya asinan untuk rusa juga menjadi penyebab migrasinya rusa ke tampat lain.
Kebradaan si Timorensis di Cikasur memang tak sebanyak dahulu, seperti kala Ledeboer masih ada. Tahun 2006, Tim BKSDA pernah menyaksikan gerombolan rusa sebanyak 12 ekor saja. Balok-balok asinan yang dipasang pagi itu sedikit memberi harapan, rusa-rusa tak lagi bingung mencari asinan.
Pagi beranjak. Perjalanan harus segera kami lanjutkan. Di atas bukit, di sebelah utara selter, kami melihat bandara hasil kreasi Ledeboer begitu luas. Di atasnya sudah ditumbuhi rumput-rumput. Tak rata sudah. Banyak gundukan memanjang lurus di atasnya. “Gundukan itu dibuat Jepang agar pesawat tidak mendarat,” kata Susiono.

Segarnya ‘Stroberi’ dan Sengatan Perih Jelatang Api

MATAHARI pagi mulai beranjak. Tas carier telah berada di pundak. Dari ketinggian di sebelah utara Cikasur, selter yang kami tempati semalam terlihat mini. Seperti sebuah benda jatuh di atas hamparan rumput bergelombang yang serupa kasur. Di sisi kiri, cekungan Sungai Kolbu membelah savana. Dari ketinggian itu pula, bandar udara buah karya Ledeboer tampak begitu luas. Seluas mimpi besarnya yang tidak tuntas.
Jelang siang itu, tim ekspedisi tak lagi bergerombol menjadi satu. Kami dari Radar Jember bersama Susiono dan dua aktivis pecinta alam (PA), Rico dan Rudy, bergabung dalam satu kelompok. Kelompok lainnya dipimpin Sunandar, kepala BKSDA Wilayah III Jember serta beberapa petugas dan porter telah berangkat lebih dulu. Sementara, tim pembinaan habitat rusa masih sibuk dengan balok-balok kayu untuk asinan rusa di bawah sana.
Padang savana Cikasur bukan yang terakhir dalam pendakian menuju Cisentor. Setelahnya, banyak lagi savana-savana yang menyambut. Savanna-savana itu masih satu komplek dengan savanna alun-alun besar. Banyaknya savana di pegunungan bermula karena kerusakan hutan akibat kebakaran. Baik yang terjadi karena ulah manusia maupun oleh alam. “Hampir 99 persen kebakaran di sini karena manusia,” kata Susiono.
Jalur pendikan di savana memang tak menanjak. Namun, tidak adanya rerimbunan pohon pelindung dari terik matahari, membuat kami cepat lelah. Tenggorokan lebih sering kami basahi dengan beberapa teguk air.
Setelah melewati dua savana, rombongan kami kembali bertemu dengan rombongan Sunandar yang berangkat 1,5 jam sebelumnya. Di Simesem, kami beristirahat. Si cemara gunung (Casuarina Junghuniana) begitu mendominasi di sekitar kami. Di sela-selanya, beberapa pohon edelweis (Anphalis Javanica) mulai kami temui. Karena bunganya tahan lama, para pendaki acap menyebutnya bunga abadi.
Di atas ketinggian 2.000 m dpl, cemara gunung tumbuh subur di kanan kiri. Karakteristiknya yang mampu bertahan pada kondisi alam rumit menjadikannya sebagai tanaman pioner. Bahkan, ketika terjadi kebakaran atau gunung meletus sekali pun. Karena itulah, di kanan kiri kami, si Casuarina itu seakan menjadi penguasa gunung.
Selang beberapa jam kemudian, kami mulai memasuki komplek Cisentor. Gemericik sungai di Cisentor sayup-sayup terdengar di kejauhan. Jalur mulai menurun. Sesekali sangat terjal. Di kanan-kiri, semak-semak semakin rapat. Itu membantu kami berpegangan saat tubuh terhuyung atau hampir jatuh.
Di rerimbunan semak-semak itu, mata kami tergoda pada beberapa bulatan-bulatan kecil berwarna merah. Saat didekati, tak bulat benar memang. Lebih berbentuk elips. Tektur kulitnya tak rata, mirip buah stroberi. “Enak. Lumayan untuk nambah energi,” kata Heru Putranto, fotografer Radar Jember, saat mencoba buah itu. Rasanya manis diselingi kecut. Mata kami pun semakin awas mencari keberadaan stroberi gunung itu. Rasanya yang aneh seperti menagih lidah agar mencicipinya lagi.
Suara sungai yang kian menderu seakan menambah semangat kami untuk menambah kecepatan langkah kaki. Kami ingin segera tiba di Cisentor untuk kemudian beristirahat. Hingga tiba-tiba, Rudy, yang berada di barisan paling depan berteriak, “Awas, banyak tanaman (maaf) jancuk,” serunya.
Hampir seluruh permukaan daun dan batang tanaman itu penuh duri. Meskipun berupa tanaman semak, tapi ketinggiannya bisa melebihi tinggi badan orang dewasa. Bila durinya menyengat kulit, rasanya perih dan panas. Kemi ekstra hati-hati melewatinya. Sesekali kami harus mengendap-ngendap, menghindari daunnya yang bergelantungan di atas kepala. Kali itu masih selamat. Kami berhasil menghindari kecupan perihnya.
Meski pada beberapa jalur pendakian selanjutnya, kami tak selamanya bisa menghindarinya. Tanpa sengaja, lengan atau telapak tangan menyentuhnya. Rasanya seperti sebuah sengatan hewan. Perih dan panas. Saat tersentuh durinya, biasanya spontan keluar kata-kata umpatan khas Surabaya itu. Barangkali, karena itulah pohon yang aslinya bernama jelatang api ini disebut sesuai dengan kata-kata umpatan itu.
Setelah melintasi jernihnya sungai, sampailah kami di selter Cisentor. Beberapa teguk air begitu lumayan untuk menyegarkan tubuh. Setelah beristirahat sejenak, kami langsung melanjutkan perjalan ke puncak. Untuk mengurangi beban, tas carier disimpan di selter. Hanya ponco yang kami bawa. Untuk berjaga-bila turun hujan.
Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 15.00. Tanjakan demi tanjakan langsung menyambut di awal-awal menuju puncak. Di beberapa titik, kami disambut lutung-lutung Jawa yang berlompatan di dahan-dahan cemara. Itu menjadi hiburan setelah tubuh semakin payah dan langkah kaki semakin berat.
Setelah seperempat perjalanan menunju puncak, kami sudah keletihan. Wajah-wajah kami pucat. Langkah kaki tak lagi tegap. Susiono, yang sudah berpengalaman langsung tanggap. Dia meminta perjalanan dihentikan sejenak. Di atas batang cemara yang tumbang, kami berunding.
Pilhannya ada dua. Pertama, terus muncak dengan resiko kemalaman serta kondisi tubuh yang tak lagi fit. Ditambah lagi, tidak ada perbekalan yang kami bawa. Atau turun ke Cisentor untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Akhirnya, dengan berat hati, kami sepekat untuk turun ke Cisentor sebagai pilihan terbaik.
Pendakian hari itu memang cukup berat. Tak seharusnya, bagi pendaki-pendaki amatir seperti kami, dari Cikasur langsung muncak ke puncak Dewi Rengganis (3.000 m dpl). Paling tidak ngecamp dulu di Cisentor barang semalam, baru keeseokan harinya melanjutkan pendakian. “Anak PA yang sudah terlatih saja paling banter ngecamp dulu di Rawa Embik (pertengahan antara Cisentor - Puncak),” kata Susiono.
Malam itu, kami bersitirahat di Cisentor. Selter yang terbuat dari kayu itu masih kokoh. Dindingnya dipenuhi coretan-coretan dari para pendaki. Angin dingin menembus jaket tebal kami. Di selter yang kami tempati itulah, sebuah tas carier milik Vensisius Suryadinata (Vincent), mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung tertinggal.
Pada awal 2006 silam, Vincent mendaki seorang diri dari Baderan. Kemudian, dia dinyatakan hilang di Argopuro. Meski tim SAR sudah mencarinya selama dua bulan, Vincent tak kunjung ditemukan. Tasnya yang tertinggal di selter Cisentor itulah yang menjadi satu-satunya pesan bahwa dia benar-benar telah sampai di sana.
“Kalau di gunung, selain perlengkapan dan perbekalan harus standar, jangan lupa jaga etika,” kata Susiono, berpesan agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan dalam pendakian. Dalam heningnya malam Cisentor itu, lamat-lamat dalam hati saya berucap, selamat tinggal Vincent. Semoga kau tenang, di manapun kau berada...

Benar-Benar Hidup di Taman Hidup

“PERJALANAN akan ditempuh sekitar lima jam,” kata Dheny Mardiono, ketua Tim Ekspedisi Argopuro 2011. Minggu pagi, pukul 07.15 kami meninggalkan Cisentor menuju Taman Hidup, tempat kami ngecamp berikutnya. Dinding selter yang kami tempati semalam penuh coretan. Mengabarkan banyaknya pendaki pernah tiba di sini.
Setelah beberapa tanjakan, kami kembali menjumpai tempat ’isi ulang’ air. Sebuah aliran sungai. Tak terlalu besar memang. Lebarnya sekitar satu meter. Para pendaki menyebutnya Aing Kenik. Meski kecil, airnya tak pernah berhenti mengalir. Saat musim kemarau sekalipun.
Dulu, di sini dijadikan tempat ngecamp alternatif. Namun, saat ini tak ada lagi tempat datar untuk sekedar mendirikan tenda. Semak-semak telah mengusai tempat ini. Salah satu pengusanya adalah (maaf) pohon jancuk itu. Tanaman penuh duri yang suka sengatannya sangat panas di kulit itu.
Seusai sebuah tanjakan di hutan cemara, hand phone di dalam carrier bergetar. Seperti ada kehidupan baru dalam tas punggung kami itu. Beberapa SMS yang sebelumnya pending berjejalan masuk hampir bersamaan. Beberapa anggota tim pun mengeluarkan HP mereka. Menghubungi istri di rumah atau sekedar membaca SMS yang baru diterima. Barangkali, karena ada sinyal itulah nama ini disebut Cisinyal.
Punggungan gunung Cemara Lima adalah jalur yang kami lalui selanjutnya. Beberapa tanjakan masih ada. Namun, kami lebih sering melipir di pinggiran gunung. Jalur lumayan ngetrek hanya kami temui menjelang puncak Cemara Lima. Puncak Cemara lima berada di ketinggian 2.501 m dpl. “Disebut Cemara Lima karena kalau dilihat dari Bermi, ada lima pohon cemara yang besar,” kata Sudartono, Polhut dari Resor BKSDA Probolinggo.
Trek menanjak itu adalah yang terakhir kami temui. Selanjutnya, didominasi jalur menurun. Di lereng Taman Kering, kaki kami ayunkan lebih berhati-hati. Selain licin, kami menyusuri jalan setapak penuh batu. Patahan-patahan ranting pohon banyak melitang di jalur, tersembunyi di rerimbunan semak.
Tak ada lagi tanjakan. Di jalur yang terus menurun itu, beban tubuh sepenuhnya bertumpu pada kekuatan tumit dan lutut. Sesekali kami masih harus berhenti. Jalur yang menurun itu ternyata masih menguras tenaga kami. Hingga kemudian, kami telah memasuki kawasan hutan lumut. Menandakan Taman Hidup tinggal beberapa saat lagi.
Di hutan lumut, kabut begitu tebal. Karena amat tebalnya, kabut itu hingga menetes seperti gerimis. Udara begitu lembab. Tanah dan pepohonan basah. Saat pandangan dihamparkan, semuanya berwarna hijau. Di batu dan pohon-pohon lumut tumbuh begitu subur.
Di hutan lumut, cemara gunung bukan lagi penguasa. Pohon-pohon besar dengan daun lebat dan akar tunjang bergelantungan mendominasi. Dan sesaat menjelang Taman Hidup, jalur pendakian tidak lagi satu buah. Banyak jalur bercabang di sini. Jalur ini dibuat para perambah hutan. Di kanan-kiri, pohon-pohon tumbang karena ditebang secara liar membuat hati kami terenyuh.
Sekitar pukul 15.40, kami sampai di Taman Hidup. Kami baru tahu, ternyata bukan lima jam perjalanan yang kami tempuh. Para porter telah mendirikan tenda. Kami pun berteduh dari serbuan hujan yang mulai turun. Hingga malam hari, kami tidak lagi bisa kemana-mana. Menghangatkan diri dalam sleeping bag menjadi pilihan satu-satunya. Malam itu kami makan dengan lahap. Nasi, mie instan, dan sarden pedas menjadi pengantar tidur yang nikmat.
Dermaga kayu di tepian Danau Taman Hidup itu tak lagi utuh. Atapnya telah hilang. Beberapa bagian pijakannya juga raib. Senin pagi itu, kabut tebal mengambang di atas danau sampai mentari yang muncul dari balik gunung Welirang dan Argopuro mengusirnya. Danau seluas sekitar 8 hektare itu memanjakan mata.
Bukan hanya keindahan itu, Danau Taman Hidup juga memiliki arti penting bagi kehidupan aneka satwa. Lutung, rusa, ayam hutan, merak, hingga babi hutan menjadikan tempat ini sebagai sumber minuman mereka. Di sekitar Danau Taman Hidup, aneka burung juga banyak bersarang.
Puas memandangi luasnya danau di ketinggian 1.960 m dpl itu, kami telah bersiap melanjutkan perjalanan. Kami lebih dulu menyantap menu sarapan pagi untuk menyiapkan energi di perjalanan berikutnya. Tapi, yang sarapan pagi itu bukan kami saja, melainkan pacet-pacet juga ikut sarapan dengan menempel di kulit beberapa anggota tim. “Biarkan saja. Pacet itu mengisap darah kotor,” kata Sunandar, kepala BKSDA Wilayah III Jember.
Sekitar pukul 08.00, kami melanjutkan perjalanan pulang. Ini adalah etape terakhir kami. Jalur yang kami lalui semakin menurun. Sesekali begitu curam. Kami sampai harus berpegangan pada akar-akar pohon atau semak-semak. Sekitar pukul 14.00 kami tiba di pos pendakian di Bermi, Krucil, Probolinggo.
Dari desa itu, puncak pegunungan Argopuro terlihat gagah. Konon di salah satu puncaknya, Dewi Rengganis, salah seorang selir dari raja Majapahit, pernah tinggal. Kami memang tidak sempat kesana untuk melihat puing-puing peninggalannya dan mengagumi kehebatannya. Namun, empat hari tinggal di alam, saat menjalani hari-hari yang tidak memberi banyak pilihan, kami belajar untuk hidup tidak manja. 
Terima kasih Argopuro…


Tulisan ini pernah terbit di Harian Pagi Radar Jember.
Foto-foto: Heru Putranto