Minggu, 11 November 2012

‘Profesor’ Organik


            Desa harus jadi kekuatan ekonomi. Agar warganya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama, untuk bekerja dan mengembangkan diri,” lirik lagu Iwan Fals berjudul ‘Desa’ ini cukup tepat menggambarkan sosok dan kontribusi Buharto. Dari desa tempat kelahirannya, Buharto mampu menghasilkan karya-karya yang kini bahkan mendunia.
            Lahir di desa Karang Melok, Tamanan, Bondowoso pada 9 September 1971, Buharto sejak kecil sudah mengakrabi sepinya pedesaan. Sejak masih bocah pula, Buharto juga sudah bergelut dengan pertanian yang menjadi mayoritas pekerjaan masyarakat di desanya itu. Pertanian seakan menjadi garis hidup yang diberikan Tuhan untuknya.
            Lulus dari MAN 01 Bondowoso pada 1990, Buharto langsung terjun pada sektor pertanian. Menggarap lahan di sawah. Pada waktu itu masih konvensional. Tak ada yang berbeda dengan petani-petani lainnya. Dalam soal pupuk, misalnya, Buharto juga masih menggunakan pupuk kimia.
            Tapi pada perjalanannya, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang justru menyadarkannya. “Awalnya saya merasa tergugah. Masak tidak bisa cari solusi untuk petani agar biaya produksi murah,” kenangnya. Ketergantungan dengan pupuk kimia memang cukup mencekik para petani.
“Orang kuno dulu tidak pakai pupuk kimia tapi bisa. Kalau sekarang dicoba lagi mungkin juga bisa,” pikirnya waktu itu. Pada medio 2004, Buharto mulai berusaha merealisasikan ide-idenya itu. Dia memutuskan untuk konsern terhadap pengembangan pupuk organik. Pupuk yang tidak semahal pupuk kimia tentunya.
            Eksperimen untuk menciptakan pupuk organik itu dia lakukan hingga tahun 2006. Dalam rentang waktu tersebut, semuanya tidak berjalan mulus. Saat melawan arus itu, banyak kekecewaan yang dia cecapi. Berbagai kegagalan-kegagalan harus dia hadapi pada pilihan yang tak lazim waktu itu.
            “Pada 2005, saya menanam terong justru gosong. Buahnya runtuh semua,” kenangnya saat bereksperimen menggunakan pupuk organik pada lahan terongnya. Pada pertengahan 2005 itu, Buharto nyaris putus asa. Apalagi, cercaan dan cibiran yang meremehkan eksperimennya itu kerap dia dengar. Bahkan Buharto sudah sering dicap sebagai orang ‘gila’. Buharto banyak mengorbankan waktu, tenaga dan materi untuk keyakinannya itu.
            Cap gila kian menjadi-jadi saat Buharto menanam ratusan bunga di halaman rumahnya untuk eksperimen pupuk organik. “Orang-orang tahu saya tidak suka bunga. Tapi untuk eksperimen, halaman rumah saya penuh dengan bunga. Makanya saya dianggap gila,” ujarnya. Namun semua cibiran itu justru membuatnya semakin yakin bahwa usahanya akan menemui hasil.
            Terbukti, pada akhir 2006, Buharto memberikan bukti bahwa pilihannya tidak salah. Tanaman padi di sawahnya mampu menghasilkan sebanyak 10 ton gabah per hektar setelah menggunakan pupuk bokasi organik. Angka yang jauh lebih besar dibanding lahan lain yang menggunakan pupuk kimia. Buharto pun kian semangat.
            Kegigihan Buharto mulai tercium oleh pemerintah. Dia pun mendapatkan bantuan mesin choper agar produksi pupuknya kian meningkat. Tak hanya pupuk Bokasi, rentang waktu 2009 hingga 2010, Buharto mulai menciptakan formulasi untuk agen hayati, pertisida nabati, prebiotik hingga probitik organik.
            Buharto memang tak memiliki pendidikan tinggi. Namun predikat ‘profesor’ layak ditabalkan padanya. Itu karena Buharto berhasil menciptakan formulasi-formulasi untuk pertanian organik yang kini banyak diakui. Kini, Buharto berhasil membuat produk pupuk organik cair yang dipakai di banyak daerah di Indonesia. Mulai perkebunan cengkeh di Bali, perkebunan Jeruk di Umbulsari Jember, Perkebunan kelapa Sawit di Kalimantan hingga perkebunan Apel di Malang.
            Selain untuk pertanian, Buharto yang kini dipercaya menjadi ketua kelompok tani Karya Tani 2 Desa Karang Melok ini juga berhasil menciptakan formulasi prebioti dan probiotik untuk pakan ternak. Hasil ciptanya kini dipakai di mana-mana. Mulai dari pebisnis tambak udang hingga pembudidaya lobster. “Saya juga punya produk namanya Yakult Sapi, ini untuk penggemukan,” jelasnya.
            Selain diterima di pasar lokal, formulasi organik karya Buharto juga menarik pelaku pertanian organik dari mancanegara. Agen hayati Bakteri merah miliknya kini sudah dipesan buyer dari Jepang. Bahkan dia mendapatkan pesanan lima ribu liter pupuk cair dari China, namun dia tak sanggup memenuhi karena terkendala alat produksi.
            Jika tak pernah belajar formal bahkan tak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, kemudian dari mana Buharto bisa memiliki kemampun dan ilmu seperti itu? Pertanyaan itu pulalah yang tak mampu dijawab oleh Buharto. Segala ilmu yang dia miliki itu seakan datang begitu saja. Pemberian Tuhan yang tak melalui bangku sekolah maupun seminar-seminar.
             Karena merasa ilmunya adalah titipan dari Sang Kuasa, Buharto pun tak segan membagikannya. Sudah ribuan petani yang dia bina. Semua orang dia persilahkan datang ke tempatnya. Menimba ilmu secara gratis. Dia tak khawatir ilmunya akan dijiplak orang. Dia tetap yakin ilmu yang dibagikan tidak akan hilang. Tapi justru bertambah.
            Di era gerakan pertanian organik (botanik) yang kini digalakkan oleh Pemkab, Buharto bisa saja mengeruk keuntungan besar dari kemampuannya itu. Buharto bisa memilih hidup kaya raya. Apalagi, Pemkab menaruh perhatian besar terhadap kemampuannya. Berbagai bantuan bisa mengalir deras ke tempatnya. Apalagi kalau dia mau mengajukan. Namun justru ada beberapa bantuan yang dia tolak. Buharto memilih tetap hidup bersahaja. Berdaya dan bermartabat dengan kemandiriannya.
            Beberapa waktu silam, Buharto mendapatkan bantuan puluhan ekor sapi untuk dibudidayakan. Namun, sapi-sapi itu justru dia serahkan kepada orang-orang di sekitarnya. Buharto hanya meminta kotoran sapi-sapi itu dikumpulkan untuk diproses menjadi pupuk organik.
            Bagi Buharto, harmoni hidup harus tetap dipelihara. “Jadi petani harus berotak Jerman, berhati Mekkah, berkaki China, berjiwa Indonesia,” ujarnya filosofis. Berhati Jerman haruslah pintar dan bertekhnologi, tapi juga harus selalu berhati Mekkah yaitu ingat behwa segala kemampuan adalah pemberian sang Ilahi. Berkaki china harus selalu semangat dan bekerja keras  agar bermartabat tapi tetap berjiwa Indonesia yaitu sopan santun dan tak membanggakan diri.(*)


Minggu, 08 Januari 2012

Jalan Buntu

dogma-dogma berarak petak-petak
alamatkan jejak kepada bijak dan sesak pekak
ketika sebagian muak menatap sesat nampak
dengan mata terbelalak
sang empu benamkan suluh
pada warna tertentu; semuanya hitam

riak-riak penasaran, mengapa tepian tak juga terkalahkan
terjungkal dan terjungkal lagi sebagai pecundang
lalu bertapa, rawa tawa tak merah cerah
suruh ceruk mantra tergali
bulat-bulat mati melingkar
mengitari ujung tempat kuku-kuku
keduanya adu beradu
satu persatu menitipkan tuah ;
satu belati siap membunuh apa-siapa saja
jabang angkuh terlahir sebagai pramusaji hidangkan janji
wajah para arwah meraut jadilah seribu topeng
penuh kasih penuh cinta
tenggelam di irama desah
paksa peluh luruh bersama tusukan buluh
 
walau tak selalu
jalan ini berakhir di tempat itu

Jember, 2007