“Desa harus jadi kekuatan ekonomi. Agar warganya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama, untuk bekerja dan mengembangkan diri,” lirik lagu Iwan Fals berjudul ‘Desa’ ini cukup tepat menggambarkan sosok
dan kontribusi Buharto. Dari desa tempat kelahirannya, Buharto mampu
menghasilkan karya-karya yang kini bahkan mendunia.
Lahir di desa Karang Melok, Tamanan,
Bondowoso pada 9 September 1971, Buharto sejak kecil sudah mengakrabi sepinya
pedesaan. Sejak masih bocah pula, Buharto juga sudah bergelut dengan pertanian
yang menjadi mayoritas pekerjaan masyarakat di desanya itu. Pertanian seakan
menjadi garis hidup yang diberikan Tuhan untuknya.
Lulus dari MAN 01 Bondowoso pada
1990, Buharto langsung terjun pada sektor pertanian. Menggarap lahan di sawah.
Pada waktu itu masih konvensional. Tak ada yang berbeda dengan petani-petani
lainnya. Dalam soal pupuk, misalnya, Buharto juga masih menggunakan pupuk
kimia.
Tapi pada perjalanannya,
ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang justru menyadarkannya. “Awalnya
saya merasa tergugah. Masak tidak bisa cari solusi untuk petani agar biaya
produksi murah,” kenangnya. Ketergantungan dengan pupuk kimia memang cukup
mencekik para petani.
“Orang kuno dulu tidak pakai pupuk kimia tapi bisa. Kalau sekarang dicoba
lagi mungkin juga bisa,” pikirnya waktu itu. Pada medio 2004, Buharto mulai
berusaha merealisasikan ide-idenya itu. Dia memutuskan untuk konsern terhadap
pengembangan pupuk organik. Pupuk yang tidak semahal pupuk kimia tentunya.
Eksperimen untuk menciptakan pupuk
organik itu dia lakukan hingga tahun 2006. Dalam rentang waktu tersebut,
semuanya tidak berjalan mulus. Saat melawan arus itu, banyak kekecewaan yang
dia cecapi. Berbagai kegagalan-kegagalan harus dia hadapi pada pilihan yang tak
lazim waktu itu.
“Pada 2005, saya menanam terong
justru gosong. Buahnya runtuh semua,” kenangnya saat bereksperimen menggunakan
pupuk organik pada lahan terongnya. Pada pertengahan 2005 itu, Buharto nyaris
putus asa. Apalagi, cercaan dan cibiran yang meremehkan eksperimennya itu kerap
dia dengar. Bahkan Buharto sudah sering dicap sebagai orang ‘gila’. Buharto
banyak mengorbankan waktu, tenaga dan materi untuk keyakinannya itu.
Cap gila kian menjadi-jadi saat
Buharto menanam ratusan bunga di halaman rumahnya untuk eksperimen pupuk
organik. “Orang-orang tahu saya tidak suka bunga. Tapi untuk eksperimen, halaman
rumah saya penuh dengan bunga. Makanya saya dianggap gila,” ujarnya. Namun
semua cibiran itu justru membuatnya semakin yakin bahwa usahanya akan menemui
hasil.
Terbukti, pada akhir 2006, Buharto
memberikan bukti bahwa pilihannya tidak salah. Tanaman padi di sawahnya mampu
menghasilkan sebanyak 10 ton gabah per hektar setelah menggunakan pupuk bokasi
organik. Angka yang jauh lebih besar dibanding lahan lain yang menggunakan
pupuk kimia. Buharto pun kian semangat.
Kegigihan Buharto mulai tercium oleh
pemerintah. Dia pun mendapatkan bantuan mesin choper agar produksi pupuknya kian meningkat. Tak hanya pupuk
Bokasi, rentang waktu 2009 hingga 2010, Buharto mulai menciptakan formulasi
untuk agen hayati, pertisida nabati, prebiotik hingga probitik organik.
Buharto memang tak memiliki
pendidikan tinggi. Namun predikat ‘profesor’ layak ditabalkan padanya. Itu
karena Buharto berhasil menciptakan formulasi-formulasi untuk pertanian organik
yang kini banyak diakui. Kini, Buharto berhasil membuat produk pupuk organik
cair yang dipakai di banyak daerah di Indonesia. Mulai perkebunan cengkeh di
Bali, perkebunan Jeruk di Umbulsari Jember, Perkebunan kelapa Sawit di
Kalimantan hingga perkebunan Apel di Malang.
Selain untuk pertanian, Buharto yang
kini dipercaya menjadi ketua kelompok tani Karya Tani 2 Desa Karang Melok ini
juga berhasil menciptakan formulasi prebioti dan probiotik untuk pakan ternak.
Hasil ciptanya kini dipakai di mana-mana. Mulai dari pebisnis tambak udang
hingga pembudidaya lobster. “Saya juga punya produk namanya Yakult Sapi, ini
untuk penggemukan,” jelasnya.
Selain diterima di pasar lokal,
formulasi organik karya Buharto juga menarik pelaku pertanian organik dari
mancanegara. Agen hayati Bakteri merah miliknya kini sudah dipesan buyer dari Jepang. Bahkan dia
mendapatkan pesanan lima ribu liter pupuk cair dari China, namun dia tak
sanggup memenuhi karena terkendala alat produksi.
Jika tak pernah belajar formal
bahkan tak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan, kemudian dari mana Buharto
bisa memiliki kemampun dan ilmu seperti itu? Pertanyaan itu pulalah yang tak
mampu dijawab oleh Buharto. Segala ilmu yang dia miliki itu seakan datang
begitu saja. Pemberian Tuhan yang tak melalui bangku sekolah maupun
seminar-seminar.
Karena merasa ilmunya adalah titipan dari Sang
Kuasa, Buharto pun tak segan membagikannya. Sudah ribuan petani yang dia bina.
Semua orang dia persilahkan datang ke tempatnya. Menimba ilmu secara gratis.
Dia tak khawatir ilmunya akan dijiplak orang. Dia tetap yakin ilmu yang
dibagikan tidak akan hilang. Tapi justru bertambah.
Di era gerakan pertanian organik
(botanik) yang kini digalakkan oleh Pemkab, Buharto bisa saja mengeruk
keuntungan besar dari kemampuannya itu. Buharto bisa memilih hidup kaya raya.
Apalagi, Pemkab menaruh perhatian besar terhadap kemampuannya. Berbagai bantuan
bisa mengalir deras ke tempatnya. Apalagi kalau dia mau mengajukan. Namun justru
ada beberapa bantuan yang dia tolak. Buharto memilih tetap hidup bersahaja.
Berdaya dan bermartabat dengan kemandiriannya.
Beberapa waktu silam, Buharto
mendapatkan bantuan puluhan ekor sapi untuk dibudidayakan. Namun, sapi-sapi itu
justru dia serahkan kepada orang-orang di sekitarnya. Buharto hanya meminta
kotoran sapi-sapi itu dikumpulkan untuk diproses menjadi pupuk organik.
Bagi Buharto, harmoni hidup harus
tetap dipelihara. “Jadi petani harus berotak Jerman, berhati Mekkah, berkaki China,
berjiwa Indonesia,” ujarnya filosofis. Berhati Jerman haruslah pintar dan
bertekhnologi, tapi juga harus selalu berhati Mekkah yaitu ingat behwa segala
kemampuan adalah pemberian sang Ilahi. Berkaki china harus selalu semangat dan
bekerja keras agar bermartabat tapi
tetap berjiwa Indonesia yaitu sopan santun dan tak membanggakan diri.(*)