Senin, 25 April 2011

Riwayatmu Kini

“Musim kemarau tak seberapa airmu
di musim hujan air meluap sampai jauh”
*

Di tanah airmu, air mengalir di tanahmu. Menderas, jauh dari hulu dalam dirimu.
Kemudian bermuara dalam sebuah abad. Yang tak akan pernah sanggup menampung,
harmoni yang tak akan pernah rampung.

Musim tiba-tiba berhenti, riak sungai pun usai

Melihat abad di belakangmu, renta lapar dan tubuh sabarmu melepuh. Letih kemudian
pudar. Di bawah kibar langit, engkau telah bersetia menunggu kabar. Pertemuan terbesar,
saat-saat paling akbar; pusar kehidupan.

Ooo, aku hanyut dalam irama tembangmu

Di lingkar abad ini, salamku kepada semesta, tuhan menyaksikan; renggutlah tubuh yang
menyusunku, dan waktu yang mencatatku. Tapi setidaknya, pejuang itu, buatkan makam
di kerut jidatku, dan di garis tanganku, epitafnya tertanam.

Selamat jalan Gesang

* Salah satu bait lirik "Bengawan Solo" karya Gesang
Foto: dakdem.com

Catatan Seorang Penyaksi 3

di selatan barat utara timur
sepanjang pandang tak lamur
dan tegak tubuh belumlah uzur
sejengkal langkah mundur tuntas diharamkan
hingga kemudian
matanya mengarah ke delapan penjuru arah angin
menangkap apapun, bahkan yang tak kasat sekalipun;
di pusat keramaian, pasar becek berlendir
pusar perempuan juga transaksi kemaluan
dia melihat
di titik nadir, saat khayalan diajak terbang layang;
etika dan norma tunduk pada barisan angka congkak
dia melihat
ketika kepandiran ditorehkan, berliter-liter perasan dosa dituangkan
selanjutnya sampah dari segala sampah mewajah
dia melihat
dan ketika yang ada hanya pembiaran
manusia-manusia malang kian terlupakan
inilah jalan yang terus terkupas
atau takdir memang harus dirubah!

di barat utara timur selatan
kebenaran ditundukkan bualan-bualan
kata-kata menggambarkan keindahan
sedang kepiluan semakin tak terbantahkan
telinganya  serupa gagang mikrofon di tangan demonstran
terbuka lebar-lebar menampung segala kebisuan;
saat keyakinan diruntuhkan
dan ayat-ayat suci dijual-gadaikan
dia mendengar
ketika tuhan diseret-seret kesana kemari
dan ketimpangan sebatas diperbincangkan di sana sini
dia mendengar
ketika petunjuk setan disakralkan
demi halal yang haram dan haram yang halal
dia mendengar
inilah jalan yang terus terkupas
atau takdir memang harus dirubah!

timur selatan barat utara
baik dan buruk pergi jauh ke dalam diri
harapan-harapan terbang tinggi ke ujung langit
hanya kaki menginjak bumi sanggup merasakan
di pesta keheningan, jalanan sedang lengang;
seorang ibu murung mendekap bayinya yang hampir dingin
dia merasakan
ketika perut-perut meronta, lapar merajalela
manusia-manusia dijajah dari kemerdekaannya
dia merasakan
ketika julur tangan berjuntai, belas kasih diharapkan
hanya jijik dan kesombongan dimuntahkan
dia merasakan
ketika tangis tak terseka, wajah alam sedang murka
detak kehidupan terhenti, nyawa tersia-sia
dia merasakan
inilah jalan yang terus terkupas
atau takdir memang harus dirubah!

utara timur selatan barat
ketika timpang kaki kekuasaan, kumat bejat pejabat bangsat
terkubur dalam-dalam adab dan martabat
dia mengendusnya
ketika ketiak penguasa menebarkan bau dusta
meenggenapi serakah membabi buta
dia mengendusnya
ketika kebodohan massal diciptakan
konspirasi busuk diam-diam digencarkan
dia mengendusnya
ketika istana-istana dibangun dengan peluh jutaan umat
sementara tubuh-tubuh ceking mencium bau sekarat
dia mengendusnya
inilah jalan yang terus terkupas
atau takdir memang harus dirubah!

sebelum tuntas segala pandang
segala dengar segala endusan
segala rasa segala kesaksian
dia telah berkirim surat kepada semesta
mengabarkan segala ketidakseimbangan
kemudian tanpa dendam
dia memberanikan diri merengek kepada tuhan
cinta sekaligus murka segera diturunkan!

Jember, 2010

Catatan Seorang Penyaksi

kepada engkau siapa saja:

saksikan tubuh yang terus mencatat ini
yang senyap, tunduk di mata merahmu
koyak bajunya hingga benar telanjang
gelarlah segala serakah segala amarah
hinga busuknya terendus
kehidung yang paling tersembunyi

atau, seret dia kepada tuhan
ke meja yang paling adil sekalipun
yang paling angkuh, dia tak akan mengeluh

jika puasmu belum tuntas
kaupun berhak melihat darahnya
yang coklatnya ditajamkan penat
hingga di anyirnya, tak kau dapat
warna merah seperti sebelumnya

hanya saja
setiap peluh yang terlanjur basah
sejarah, tak kuasa kau bantah

Catatan Seorang Penyaksi 2

Tak pandai bicara, laki-laki itu lebih suka diam
dia lebih pandai ketika mendengar

ketika sebagian isi kepalanya tumpah di layar komputer
dan sebagian lainnya tertindih kaki kekuasaan
seluruh dirinya telah dia ikhlaskan
pada setiap tusukan tajam jarum jam


Jember, 12 Juni 2010

Sabtu, 23 April 2011

Tiga Waktu

Tentang yang telah berlalu.

Sekali lagi, datanglah kepadaku, dekat. Kita susun mukjizat di sepenuh malam pekat. Menganyam cecer mozaik kita, hingga takdir benar-benar lengkap. Atau jika tak bisa, teriakkan padaku, perihal rindu dan ihwal ingin bertemu; tanpa siasat.

Kita kemasi cahaya bulan malam ini.

Catat seluruh harap dan ingatmu ke tubuhku, kasat. Selesainya, rapal ke telingaku, dekat. Lalu di seluruhku, catat dan rapalmu berkeriap-beralamat-resap; perempuanku. Hingga pada yang mungkin, kita tak ragu untuk yakin.

Mata airku, mata batin dan darahku.

Seusai benih yang telah kutebar sempurna, berlakulah seperti awan-dingin-hujan; ooo sayangku. Menyingkirlah dari gejolak dunia, rakus nafsu hidup kita. Hingga pohon itu tumbuh subur. Menjadi separuh aku, separuh engkau.

Yuke Yuliantaries, Bawa Batik Tembus Internasional

Perubahan bisa datang dari mana saja. Bahkan dari desa sekalipun. Dari desa pulalah, Yuke membangun bisnis batiknya hingga merambah pasar luar negeri. Kini, di usianya yang masih muda, dia menjadi pengusaha batik tersukses yang dimiliki Bondowoso.

Sebagian aspal di gang menuju rumah Yuke di Desa Sumbersari, Maesan, Bondowoso itu telah mengelupas. Tinggal tonjolan-tonjolan batu yang menyeruak ke permukaan. Tepat di samping timur lapangan sepakbola Sumbersari yang sepi itu, rumah Yuke berdiri. Sederhana dan damai. Dilingkupi rindang pepohonan mangga.
Jumat sore (15/4), gerimis tipis turun pelan-pelan. Aroma pewarna dan malan langsung terendus saat memasuki salah satu ruang pewarnaan di rumah Yuke. Di ruang itu, beberapa pria sibuk mewarnai berlembar-lembar kain dengan berbagai motif batik. Dari ruang sederhana ini pulalah, tercipta lembaran-lemabaran kain batik yang selanjutnya dipakai orang-orang ternama.
Selembar kain batik yang sudah selesai diwarnai itu langsung menyita perhatian. Berbahan sutera, kain itu didominasi warna biru dengan guratan-guratan putih. Motif utamanya adalah Lembu Swana, seekor kuda bersayap mirip Pegasus, namun berkaki burung dengan hidung menjuntai layakanya belalai gajah. Di kain itu tergambar pula motif Gigi Balang, ranting penuh daun yang menjulur serupa pakis.
Motif Lembu Swana, hewan mitologi dari masyarakat Kalimantan Timur serta Gigi Balang itu begitu anggun tergambar. Siapa sangka, kain batik itu nantinya akan dikenakan orang penting di Indonesia. “Itu pesanan untuk pak SBY,” kata Yuke. Rencananya, orang nomor wahid di Indonesia itu akan mengenakan batik garapan Yuke pada Penas KTNA XIII pada medio Juni mendatang di Kalimantan Timur.
Selain SBY, beberapa orang ternama di negeri ini sudah pernah memakai batik bikinan Yuke. Sebut saja Aburizal Bakri, Akbar Tanjung hingga mantan wapres Yusuf Kalla. Beberapa menteri yang duduk di pemerintahan pun pernah menggunakan batik hasil produksinya. Bagi Yuke, itu sebuah pencapaian tersendiri yang tentu tak dimiliki semua orang.
Sudah pasti, tak mudah untuk meraih segala pencapaian itu. Jalan yang dia tempuh penuh liku dan panjang. Semuanya bermula dari tahun 2000, saat dia memegang penuh kendali perusahaan Batik Tulis Sumbersari. Ketekunan dan strategi bisnis jitulah yang mengantarkan Yuke meraih itu semua.
Batik Tulis Sumbersari sendiri sejatinya sudah berdiri sejak tahun 1985. Kala itu, tante Yuke, Lilik Soewondo memegang kendali perusahaan. Beranggotakan perempuan-perempuan di karang taruna, lilik memimpin hingga sekitar tahun 1997. Saat krisis moneter menyergap kala itu, aktifitas membatik sempat kolaps. Beberapa orderan yang masih seadanya pun terputus.
Tahun 1999, aktivitas membatik dimulai lagi. Pengelolaan memang masih dilakukan oleh Lilik. Namun pelan-pelan, Yuke mulai terlibat di dalamnya. Yuke mulai menawarkan konsep desain dan motif. Penggunaan bahan mulai diatur. Manajemen pun dibenahi. “Pemasaran juga mulai kita pikirkan,” kata putra dari pasangan Didik Astiawan dan Sri Umiati ini.
Saat memulai kembali usaha batik itu, Yuke telah belajar banyak atas kekurangan-kekurangan yang terjadi di masa lalu. Tumbuh dan besar di lingkungan batik, menjadi bekal baginya untuk membenahi kekurangan-kekurangan itu. Salah satu konsernya adalah bagaimana mengangkat citra batik tulis.
Tahun 2000, saat dia dipercaya memimpin langsung perusahaan keluarga tersebut, dia melakukan langkah yang terbilang ekstrem. Dia melakukan penyegaran di tubuh manajemen. Bahkan bagian desain dan motif  yang sebelumnya diisi ayahnya, waktu itu diberikan kepada adiknya, Ifriko Desriandi.
”Saya ingin semua baru. Image lama harus dirubah dengan yang baru,” kata suami dari Weny Wulandari ini. Tak ada penolakan dengan apa yang dilakukan Yuke. Bahkan keluarganya setuju. Dengan perubahan itu, dia berharap citra batik yang ala kadarnya menjadi karya spesial yang bisa diterima pasar secara luas. Memperkaya motif dan meningkatkan kualitas menjadi jalan yang dia tempuh.
Terobosan penting lainnya adalah bagaimana Yuke merubah target pasar. Sebelumnya, pasar batiknya hanya untuk kalangan menengah ke bawah. “Waktu itu, kita mulai menarget di pasar top level. Karena kalau produk menengah ke bawah kita sulit berkembang,” kenangnya. Jika sebelumnya hanya menggunakan kain katun kelas dua, Yuke mulai menggunakan katun kelas satu sebagai bahan baku utama. Selain itu, penggunaan kain sutera mulai diterapkan.
Strategi yang dia pilih itu mulai membuahkan hasil. Industri batiknya melesat tajam. Dengan kualitas yang terus dijaga, pesanan dari orang-orang penting mulai berdatangan. Beberapa kepala daerah di Tapalkuda mulai mengenakan batik garapannya. Seiring dengan itu, batik garapannya semakin dikenal di masyarakat luas.
Perlahan-lahan, pasar batiknya mulai meluas. Tak hanya individu, banyak instansi yang memesan batik untuk dijadikan seragam khas. Omsetnya pun mulai melambung. Yuke mulai mencecap manis dari jerih payahnya. Hingga pada tahun 2003, pasarnya tak lagi nasional, tapi merambah ke luar negeri.
Pada tahun ketiganya itu, dia mulai menggarap pasar Asia Tenggara. Melalui koleganya, dia mulai menjual batik garapannya ke Filipina, singapura dan Negara-negara ASEAN lainnya. Selanjutnya, tahun 2004, pasarnya sudah merambah ke Eropa, seperti belanda, perancis, hingga Brazil dan Amerika.
Tak berhenti di situ, sudah satu tahun terakhir ini dia mulai lebih serius untuk menggarap pasar permanen di luar negeri. Rencananya, bersama dengan seorang turis yang pernah datang ke rumahnya, dia akan membuka sebuah outlet batik di Finlandia. Pasar nasional memang masih menjadi prioritasnya. Namun demi menjaga citra dan nilai jual, pasar luar negeri terus dia garap.
Di atas pencapaian yang sudah direngkuh, Yuke mengalami juga bahwa setiap kesuksesan tak pernah bisa dicapai dengan mudah. Bahkan saat bisnisnya melaju pesat, Yuke juga merasakan betapa batu terjal terus mengintai. Dia menganggap itu sebuah tantangan.
Tahun 2009, misalnya. Saat Unesco memutuskan bahwa batik sebagai warisan dunia dari Indonesia, apresiasi terhadap batik bak roller coaster yang tengah menanjak. Industri batik muncul di mana-mana. Batik Tulis Sumbersari yang semula pemain tunggal, kala itu telah memiliki banyak penantang. Baik di Bondowoso maupun di Jember. Sempat pula, omsetnya turun hingga 30 persen.
Namun Yuke tak berdiam diri. Yuke memantapkan dirinya sebagai petarung yang tak akan berdiam diri diterjang keadaan. Serupa cambuk bagi seekor kuda yang menarik kereta, Yuke berlari lebih kencang. Bukan dengan mengagregasi pasar pesaing, Yuke lebih konsern untuk terus meningkatkan kualitas garapannya.
Hal itu terbukti manjur, pasar yang semula hilang perlahan-lahan mulai kembali. Dari situlah, Yuke kian yakin bahwa batik adalah persoalan kualitas. “Memang dua-tiga bulan mereka (konsumen) membeli ke produsen lain. Tapi setelah itu balik lagi ke kita,” ujarnya.

Majukan Potensi Dua Daerah

Secara geografis, lokasi Batik Tulis Sumbersari terletak di Kabupaten Bondowoso. Namun industri batik ini juga memiliki ikatan erat dengan Kabupaten Jember. Sempat terjadi tarik menarik antara kedua daerah untuk menjadikan industri batik ini sebagai binaannya. Namun Yuke memilih untuk sama-sama mengembangkan potensi dua daerah tersebut, melalui motif-motif pada batiknya.
Salah satu motif batik andalan Yuke adalah motif daun ketela. Saat ini, motif ini telah menjadi ikon dari Bondowoso. Diangkatnya motif ketela dalam produksinya ini tak lepas dari kecintaannya terhadap tanah kelahirannya. Sebagai putra daerah, pria kelahiran 8 Juli 1976 ini merasa harus ada yang diperbuat untuk daerahnya.
            Meski memiliki sejarah membatik, namun hampir tak ada catatan terkait pola desain dan motif dari batik asli Bondowoso. Apalagi pada masa lalu, aktivitas membatik di Bondowoso hanya dilakukan oleh perorangan. Belum dalam bentuk industri seperti saat ini. Hal itulah yang membuat catatan akan batik di Bondowoso hampir tak ada.
            Motif daun ketela, yang saat ini menjadi ikon Bondowoso sebenarnya sudah ada sejak Lilik Soewondo, bibinya membatik. Motif inilah yang kemudian terus dikembangkan sehingga akhirnya menjadi kekhasan Bondowoso. Cukup tepat memang, itu bila dikaitkan dengan daerah ini yang menjadi salah satu penghasil ketela pohon.
            Meski kalah bersaing dengan motif-motif lainnya, seperti motif tembakau, Yuke terus konsisten mengembangkan motif ketela. Di pasaran, motif ketela memang tidak selaris motif tembakau. Jika dipersentasekan, penjulaan batik motif ketela ini hanya 10 persen. Jauh di bawah motif tembakau mendominasi penjualan hingga 60 persen. Sisanya adalah motif-motif kontemporer lainnya.
            Meski persentase penjualan tak sebesar motif-motif lainnya, hingga saat ini, Yuke terus memproduksi motif ketela ini. Tak hanya itu, dia terus memperkenalkan motif ini saat berkesempatan mengikuti expo di luar kota, misalnya. Beberapa varian dari motif ketela juga terus dia kembangkan.
            Bentuk kecintaan lain terhadap tanah kelahirannya adalah dengan menciptakan motif-motif yang sangat kental dengan nuansa Bondowoso. Salah satunya adalah motif Singo Wulung serta motif aduan sapi, dua kesenian asli Bondowoso. “Meski masih sebatas by order,” kata ayah dari Muhammad Gavyn ini.
            Selain kepada tanah kelahirannya, Bondowoso, Yuke memiliki kedekatan tersendiri terhadap Jember. Di kota inilah, Yuke menghabiskan sebagian hidupnya dengan menimba ilmu di Unej Jember. Lulusan Administrasi Negara FISIP tahun 2000 ini juga memiliki jaringan luas, utamanya di bidang bisnis di Jember.
            Lebih dari itu, perhatian pemerintah Jember terhadap pengembangan batik yang dia lakukan juga cukup besar. Beberapa kali Yuke mendapatkan kesempatan untuk menampikan dan memasarkan karyanya saat pemeran-pameran yang sering dilakukan di Jember. Tak terhitung pula pejabat pemerintahan di Jember yang menggunakan batik produksinya.
            Semua itu tak lepas dari motif tembakau yang juga dia kembangkan. Berbicara tembakau memang tak lepas dari Jember. Daerah ini menjadi salah satu penghasil tembakau terbesar di Jember. Sebagian masyarakat di Jember juga hidup dari ‘daun emas’ itu. Tak pelak, batik dengan motif tembakau begitu mudah diterima pasar.
            Dengan sentuhan rasa dan kualitas yang terus dia jaga, kedua motif tersebut terus menjadi andalannya. Dia membawa motif tembakau dan ketela ke beberapa pagelaran bergengsi di tingkat nasional. Salah satunya adalah ketika batik hasil produksinya digunakan oleh desainer Barli Asmara untuk beberapa model ternama seperti Atalarik Syah beberapa waktu lalu di Jakarta.
            Baginya, kedua motif batik itu sama-sama memiliki keindahan dan kekuatan masing-masing. Untuk itulah, harus ada yang terus memperkenalkan kedua motif yang telah menjadi ikon itu hingga kian dikenal di tingkat nasional. Pada titik inilah, dia memilih untuk memajukan dua daerah yang dia cintai melalui motif pada batik produksinya

“Batik Adalah Hidup Saya”

Bukan sebatas persoalan mengejar materi, batik sudah menjadi media bagi Yuke untuk berbuat sesuatu bagi lingkungannya. Melalui batik, Yuke berhasil membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat di sekitarnya. Kini, sebanyak 50 pekerja menggantungkan hidupnya dari industi Batik Tulis Sumbersari yang dia pimpin.
Persoalan materi bukan lagi hal yang menjadi permasalah bagi Yuke. Batik telah memberikan penghidupan yang layak baginya. Apalagi, batik yang dia garap bukan batik kelas bawah. Dengan kualitas sebagai jualan utamanya, harga batik garapannya mencapai jutaan rupiah.
Untuk yang paling murah saja, misalnya, harganya berkisar Rp 400 ribu. Sementara untuk batik berbahan sutera, Yuke bias menjual hingga Rp 6 juta per lembarnya. Dengan harga melangit seperti itu, mengumpulkan rupiah bukan lagi persoalan baginya.
Tentu Yuke cukup puas dengan hal itu. Namun yang terpenting baginya, melalui industri batik yang digeluti, dia bisa bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Setidaknya, dia bisa membuka lapangan pekerjaan bagi mereka.
Kendati sudah memiliki banyak pekerja, Yuke tidak mau menghabiskan kesehariannya hanya dengan berleha-leha. Meski waktunya banyak disibukkan dengan terus membuka pasar baru, dia tak mau lepas sepenuhnya dari persoalan teknis.
Bersama dengan adiknya, Ifriko Desriandi, dia memonitor langsung setiap helai batik yang diselesaikan para pekerjanya. Bahkan, dia masih mau menyentuh malan atau pewarna batik demi menjaga kualitas batiknya. Yuke tak ingin hanya karena lupa kontrol, batik yang diproduksi turun kualitasnya. Dalam persoalan kualitas, Yuke begitu perfect. 
Selain terus membesarkan usahanya, Yuke yang hidup dari batik, juga berupaya menghidupi batik. Salah satunya dengan membagikan ilmu batiknya kepada generasi-generasi muda. Dengan seperti, diharapkan semakin banyak generasi muda yang mencintai dan terus menjaga salah satu warisan budaya dunia ini.
Untuk itulah, seringkali dia diminta untuk mengajarkan proses-proses membatik di beberapa sekolah. Yuke melakukan itu dengan sukarela, tanpa memikirkan atau mengharap honor dari itu.
          Kecintaannya terhadap batik yang begitu besar, membuat waktunya seakan habis hanya untuk urusan batik. Memikirkan motif baru, menjaga kualitas hingga membuka pasar baru menjadi kesehariannya. Yuke bahagia menjalani itu semua. “Batik telah menjadi hidup saya,” pungkasnya


Foto by Heru Putranto

Jumat, 22 April 2011

Dari Madura Untuk Dunia

Selama ini, kesenian tradisional etnik Madura, khususnya gubahan lagu maupun kidung-kidungnya seringkali termarginalkan karena dianggap kurang kompetitif. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk sejenak singgah di kelompok kesenian Kebun Sanggar Bermain (KSB), di Mumbulsari Jember. Kelompok ini bertekad mengangkat kidung-kidung tradisional etnik Madura hingga bisa tembus pasar internasional.

Cong koncong konce
koncenah lo oloan.
Sabanyung saketeng
gig enggighen taoh bajang.


Sebagian dari kita, khususnya yang berasal dari etnik madura bisa dipastikan tidak akan asing dengan lirik tersebut. Lirik kidung yang akan langsung mengingatkan kepada masa kanak-kanak dimana kidung tersebut seringkali dinyanyikan dalam sebuah permainan.

Selama ini, kidung tersebut memang hanya menjadi kidung yang mengiringi permainan anak-anak kecil dari etnik Madura. Jarang sekali atau bahkan tak pernah ditemukan kidung tersebut dipentaskan dalam sebuah pertunjukan seni musik. Apalagi mendengar kidung tersebut menembus pasar industri musik, baik nasional, apalagi internasional.

Ketermarginalan kidung-kidung etnik Madura inilah yang tampaknya menggugah sekelompok seniman yang tergabung dalam Kebun Sanggar Bermain (KSB) yang bermarkas di wilayah Kecamatan Mumbulsari, Jember untuk membuatnya bisa lebih kompetitif.

Terhadap kidung-kidung dari etnik Madura, berbagai pengembangan dilakukan oleh kelompok ini. Mulai dari mengaransemen lagi nada kidung, hingga mengolaborasikannya dengan aneka alat musik dari berbagai etnik lain di Indonesia.

Kegigihan dalam mengangkat kidung-kidung etnik Madura tersebut sejatinya telah dilakukan KSB sejak sekitar tahun 1991 silam. Meskipun harus berhadapan dengan berbagai kedala, seperti minimnya apresiasi terhadap perjuangan mengangkat kesenian tradisional ini. Namun, hal tersebut tidak lantas menyurutkan tekad dan kegigihan KSB.

O’onk Fathurrahman, pengasuh KSB, mengatakan bahwa tekad untuk mengangkat kidung-kidung tradisional Madura tersebut, mengingat mayoritas masyarakat di daerahnya (Jember) adalah etnik Madura. Khususnya mereka yang berada di pinggiran, pelosok pedesaan maupun di daerah perkebunan.

Di mata seniman yang lama berkesenian di Benkel Teater Rendra, kidung-kidung tradisional etnik Madura sanagat kental dengan nilai estetika yang cukup tinggi. Didalamnya juga bernuansa magis dan sufistik. “Kandungan filsafatnya juga sangat tinggi sekali,” tutur pria yang akrab disapa Gus O’onk ini.

Dia pun menyontohkan salah satu lirik kidung;
pak o pak eleng
elengah sangkoranji
pak tarma maling
anak tambeng tak taoh ngajih.


Dalam lirik tersebut, menurutnya berisi pelajaran hidup yang sangat mulia. Tentang bagaimana seorang manusia untuk tidak meninggalkan kewajaran hidup. Tentang ketuhanan, serta tentang bagaimana harmoni tingkah seorang bapak dan laku seorang anak.

Kendati begitu, seniman yang menjadi salah satu sahabat WS. Rendra ini menyayangkan ketika kidung-kidung ini semakin termarginalkan. Hal itu terjadi karena menurutnya kidung-kidung etnik Madura secara penyajian kurang kompetitif. Apalagi selama ini penyajiannya masih bersifat lokal dan sangat tradisional.

Berangkat dari sanalah, dia mulai meracik kidung-kidung tersebut dalam bentuk perkusion seksion. Dengan menggunakan alat-alat musik dari etnik lain, seperti jimbe, bedug, serta gitar, perlahan-lahan, bersama komunitasnya, dia mulai sering menampilkan kemasan kidung etnik Madura racikannya di depan umum.

Dalam perjalanannya, penyajian kidung etnik dari perkusion seksion KSB ini semakin matang secara musikalitas. Hal itu seiring kedatangan Budi Sadewo, seorang music director yang biasa menangani pementasan seni Bengkel Teater Rendra. Kedatangan Dewo, begitu pria ini akrab dipanggil, telah memberikan warna tersendiri bagi KSB.

Berbagai unsur bunyi-bunyian diselipkan dalam racikan sebuah kidung yang dimainkan. Dewo juga memadukan racikan perkusion seksion yang dirintis Gus O’onk dengan berbagai alat-alat musik khas daerah lain. Seperti kecapi khas Sunda, ginggong dari Irian, sitter Jawa, serunai Padang, hingga Ocarina dari Kenya. “Jadi unsur bunyi-bunyiannya lebih kaya,” kata Dewo, musisi yang acapkali mengiringi pementasan puisi WS Rendra ini.

Kendati menggabungkan kidung etnik Madura dengan berbagai alat musik dari daerah lain, namun Dewo tidak merubah ciri dan kekhasannnya. Modifikasi yang dilakukan serta berbagai jenis alat musik yang dikolaborasikan, tidak sampai mengalahkan corak khas kidung etnik Madura.

Keberanian Dewo dalam memodifikasi dan memasukkan unsur-unsur musik baru dalam perkusion seksion asuhan Gus O’onk tersebut bukannya tanpa alasan. Menurut dia, dalam seni musik, tidak ada yang namanya sekat-sekat budaya. Semuanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam seni bernama musik.

Keputusan Dewo untuk turut serta mengembangkan kidung tradisional etnik Madura dilandasi betapa kuatnya ruh yang terdapat dalam kidung-kidung etnik Madura. Dia melihat dinamika yang begitu kental. Selain itu, ada sejarah dalam kidung-kidung tersebut yang akan membangkit kenangan masa lalu

Mendengar kidung pak o pak eleng, atau rak terak bulan, maupun cong koncong konce, mereka yang berasal dari etnik Madura akan langsung teringat tentang masa kecilnya. Tentang keasikan bermain bersama bulir-bulir cahaya bulan yang berkeriap pada malam pekat.

Dewo optimis, kidung tradisional khas etnik Madura akan mempu bersaing di pasar industri musik. Bertarung dengan segala jenis musik kontemporer yang kian lama kian nyaring memekakkan telinga. Apalagi jika kidung-kidung tersebut diberi kesempatan yang lebih luas untuk sering tampil menunjukkan ruhnya. “Saya yakin akan mendapat apresiasi luas. Asal mendapat tempat dan kesempatan,” imbuhnya.

Memang, ditangan Gus O’onk bersama KSB-nya, serta didukung oleh tekhnik musikalitas yang cukup tinggi dari Dewo, kidung-kidung khas etnik Madura yang mereka mainkan terdengar bisa lebih layak jual serta terasa lebih kompetitif.

Seperti dalam sebuah tembang berjudul cong koncong konce, misalnya. Lantunan cong koncong konce dibuat lebih ngebeat. Dipadukan dengan jeritan kematian khas orang Madura yang menyayat telinga, sahutan-sahutan pantun, tetabuhan jimbe yang lembut namun sesekali menghentak, serta petikan kecapi Dewo, membuat tembang ini begitu nyaman untuk dinikmati.

Racikan-racikan tembang seperti itulah yang diharapkan bisa menembus pasar internasional. Namun tidak muluk-muluk, pasar Asia adalah target awal. Saat ini mereka tengah mempersiapkan diri untuk tampil di kedubes Indonesia di Prancis dan Amerika. “Untuk launching racikan terbaru ini akan dilangsungkan di Unesa,” kata Gus O’onk.

foto by Heru Putranto