Hidup di sudut terpencil, di kemiringan tebing dan penuh keterbatasan, orang-orang ini tak lagi punya banyak pilihan. Mereka ‘dipaksa’ mengakrabi ketakutan dan ancaman.
Dusun Krajan, Desa Sucopangepok, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember masih begitu asri. Tak ada kebisingan di jalanan desa yang tak seberapa lebar itu. Hijaunya lereng pegunungan argopuro menambah eloknya dusun itu. Namun di balik segala keindahannya, ancaman bencana setia mengintai warga di sana.
Senin, 28 Februari malam, dusun itu lebih sunyi dari biasanya. Jarum jam menunjuk ke angka delapan. Hujan masih tak reda sejak siang hari. Di ruang tamu rumahnya yang tak berkeramik, Satroli, pria renta kelahiran tahun 1951 itu tengah mengaso. Duduk di kursi tua yang catnya sudah pudar dimakan usia. Melepaskan diri dari deraan penat seusai mencari rumput untuk sapi-sapinya. Sementara di luar rumah, malam semakin dingin.
Dihisapnya dalam-dalam lintingan tembakau kesukaannya. Susyati, istrinya, berbaring di lantai. Menyaksikan layar televisi yang usang. Di rumah mungil di lereng gunung itu, ruang tamu dan ruang santai keluarga sekaligus menjadi satu. Tak ada kegaduhan apa-apa hingga detik itu; Satroli masih asik dengan lintingan tembakaunya, Susyati terus memandangi layar televisi.
Hingga sejurus kemudian, kepanikan tiba-tiba mendera. “Saya mendengar pohon-pohon bambu patah di atas sana,” kenang Satroli dalam bahasa Madura. Sunar, menantunya langsung mengecek bunyi itu. Di tengah derasnya hujan, dia naik ke atas tebing. Sesampainya di lokasi, dia melihat pohon-pohon bambu telah rubuh diterjang longsor.
Dari tempatnya berdiri, dia melihat langsung longsoran yang semakin membesar. Batu bercampur lumpur dan pasir terjun bebas dengan deras. Tepat di hadapannya. “Bukan hanya batu, pohon-pohon juga,” ingat Sunar. Dia gemetar. Kemudian bergegas turun. Memastikan bahwa rumahnya aman.
Sesampainya di bawah, dia melihat longsoran itu telah tiba lebih dulu. Bagian sisi sebelah kiri rumahnya telah tertutupi material longsor setinggi sekitar dua meter. Begitu juga dengan halaman rumah. Meski begitu, rumah sederhana itu masih kokoh berdiri.
“Waktu itu saya sudah keluar rumha sama istri,” kata Satroli. Di rumah lainnya, Murni, anak keempatnya beserta dua cucunya juga sudah berada di lokasi yang aman. Satroli bersukur, longsor itu tak merubuhkan satu-satunya rumah miliknya. Lebih dari itu, seluruh keluarganya masih selamat.
Tak beberapa lama setelah longsor, hujan mereda. Merasa kondisi sudah aman, dia memberanikan diri masuk ke rumah. Air bercampur lumpur juga telah masuk ke ruang tamu tempat biasa dia bersantai. Bapak dari lima anak ini tertegun. Tak ada yang dia lakukan waktu itu. Ketakutan dan kelegaan telah campur aduk dalam dirinya.
Sekitar jam 9 malam, ponakannya yang tinggal di dusun sebelah datang menyambangi. Sejak malam itu, dia dan seluruh keluarganya tinggal di rumah ponakannya itu. “Sekitar satu bulan saya tidur di rumah ponakan,” tuturnya.
Sudah sekitar satu bulan ini, Satroli sudah kembali tinggal di rumah mungilnya. Terlihat jelas sisa-sisa longsor saat RJ berkunjung ke sana; tumpukan pasir di halaman, bekas tanah liat di ruang tamu hingga lahan pertanian di samping rumahnya yang rusak diterjang longsor. Di lahan itu, Satroli biasa menanam jagung untuk tambahan pendapatan.
Kini, Satroli, memang telah kembali pulang. Mengarit rumput untuk sapi-sapinya dan menghabiskan masa tuanya di rumah mungilnya itu bersama keluarga tercinta. Di sebuah dusun sunyi. Tepat di bawah tatapan bukit yang masih rawan itu.
Di dusun Pakel, sekitar 5 kilometer di atas rumah Satroli, longsor juga akrab dengan warga di sana. “Itu di sana, sawah banyak yang rusak,” kata Jasmani, 45, seraya menunjuk sawah yang tertimbun material longsoran milik Juhairiyah, tetangganya. Lahan-lahan padi yang seharusnya dipanen dengan suka cita itu akhirnya gagal.
Tak hanya milik Juhairiyah, longsoran juga telah menerjang banyak lahan-lahan pertanian milik warga lainnya. Namun Jasmani tak habis pikir, sampai saat ini tak ada bantuan datang. “Kalau dulu masih sering ada bantuan. Tapi kalau sekarang sudah nggak ada,” katanya dengan logat Madura yang masih kental.
Sudah bertahun-tahun mereka menjadi saksi longsoran tebing. Semakin lama, semakin sering longsor terjadi di daerah ini. Tak terhitung sudah berapa banyak lahan warga yang rusak akibat longsor. Namun begitu, di sini longsor tak hanya merusak tanaman. Lebih dari itu, longsor acapkali mengancam jiwa warga.
Sabtu, 26 Februari sekitar jam 7 malam, gemuruh runtuhnya batu dan tanah dari tebing membuyarkan saat santai Nawaroh dan keluarganya. Nyaris saja, derasnya longsor yang tiba-tiba itu, hanya berjarak sekitar empat meter dari dinding samping rumahnya. Nawaroh gentar. Baru kali ini longsor begitu dekat dengan rumahnya.
Takut ada longsor yang lebih besar, bersama suami dan dua orang putranya dia mengungsi ke tempat yang lebih aman. “Ngungsi ke kebun kopi,” ungkapnya. Tak hanya keluarganya, empat keluarga lainnya terpaksa tidur di kebun malam itu. Tentu itu menjadi pilihan terbaik. Dinginnya malam di kebun dan mungkin serbuan nyamuk tentu masih lebih baik dibanding reruntuhan material longsor.
Malam-malam selanjutnya, mereka masih tak berani pulang. Untuk sementara waktu, mereka menginap di rumah saudara yang lebih aman. Tentu dia harus kembali pulang ke rumah. Tak mungkin tinggal di tempat saudaranya terus menerus. Dia tak mau menjadi beban.
Satroli, Nawaroh dan mungkin semua orang di lereng gunung itu tahu akan ancaman bencana yang terus mengintai mereka. Namun tak banyak yang bisa mereka perbuat. mereka tak lagi punya pilihan. “Saya tidak punya tanah lain untuk ditinggali,” kata Nawaroh.
Sebenarnya, jauh di dalam diri, terbersit mimpi memiliki sebuah rumah yang nyaman ditinggali. jika kelak ada program relokasi, tentu mereka akan menyambut dengan senang hati. “Asalkan semua juga dipindah,” pinta Nawaroh.
Bagi Nawaroh, lokasi rawan longsor yang dia tinggali saat ini, bukan sekedar tempat di mana rumahnya berdiri. Tapi di lokasi itu pulalah, dia mencari nafkah. Bersama suami, dia menanam kopi, jagung serta komoditas lain yang penting menghasilkan uang. “Kalau saya dipindah, saya tetap kerja di sini. Tiap hari kan bias naik (untuk kerja, red),” jelasnya
Nawaroh tak tahu pasti berapa usianya kini. Dia hanya ingat, sejak lahir sudah tinggal di tempat itu. Nawaroh ingat, saat kecil hutan di lereng gunung samping rumahnya masih rimbun. Namun sejak Soeharto turun tahun 1998, hutan-hutan mulai gundul. Warga mulai berani membuka hutan untuk lahan pertanian. Pohon-pohon besar sudah banyak berganti tanaman kopi dan komoditas pertanian lainnya.
Barangkali itulah yang membuat kawasan ini makin labil. Lebih mudah longsor. Namun, sekali lagi, Nawaroh dan mungkin orang-orang di sana tak punya pilihan lain. Berladang di lahan yang sebelumnya hutan itu merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka. Nawaroh hanya berharap; keselamatan masih menyertainya dan Tuhan akan mengabulkan itu.
Sementara di luar sana, longsor masih setia mengancam
Mohon info tentang profil ibu nurul farida. Apakah memang alumnus univ jember??.
BalasHapus