Jumat, 22 April 2011

Dari Madura Untuk Dunia

Selama ini, kesenian tradisional etnik Madura, khususnya gubahan lagu maupun kidung-kidungnya seringkali termarginalkan karena dianggap kurang kompetitif. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk sejenak singgah di kelompok kesenian Kebun Sanggar Bermain (KSB), di Mumbulsari Jember. Kelompok ini bertekad mengangkat kidung-kidung tradisional etnik Madura hingga bisa tembus pasar internasional.

Cong koncong konce
koncenah lo oloan.
Sabanyung saketeng
gig enggighen taoh bajang.


Sebagian dari kita, khususnya yang berasal dari etnik madura bisa dipastikan tidak akan asing dengan lirik tersebut. Lirik kidung yang akan langsung mengingatkan kepada masa kanak-kanak dimana kidung tersebut seringkali dinyanyikan dalam sebuah permainan.

Selama ini, kidung tersebut memang hanya menjadi kidung yang mengiringi permainan anak-anak kecil dari etnik Madura. Jarang sekali atau bahkan tak pernah ditemukan kidung tersebut dipentaskan dalam sebuah pertunjukan seni musik. Apalagi mendengar kidung tersebut menembus pasar industri musik, baik nasional, apalagi internasional.

Ketermarginalan kidung-kidung etnik Madura inilah yang tampaknya menggugah sekelompok seniman yang tergabung dalam Kebun Sanggar Bermain (KSB) yang bermarkas di wilayah Kecamatan Mumbulsari, Jember untuk membuatnya bisa lebih kompetitif.

Terhadap kidung-kidung dari etnik Madura, berbagai pengembangan dilakukan oleh kelompok ini. Mulai dari mengaransemen lagi nada kidung, hingga mengolaborasikannya dengan aneka alat musik dari berbagai etnik lain di Indonesia.

Kegigihan dalam mengangkat kidung-kidung etnik Madura tersebut sejatinya telah dilakukan KSB sejak sekitar tahun 1991 silam. Meskipun harus berhadapan dengan berbagai kedala, seperti minimnya apresiasi terhadap perjuangan mengangkat kesenian tradisional ini. Namun, hal tersebut tidak lantas menyurutkan tekad dan kegigihan KSB.

O’onk Fathurrahman, pengasuh KSB, mengatakan bahwa tekad untuk mengangkat kidung-kidung tradisional Madura tersebut, mengingat mayoritas masyarakat di daerahnya (Jember) adalah etnik Madura. Khususnya mereka yang berada di pinggiran, pelosok pedesaan maupun di daerah perkebunan.

Di mata seniman yang lama berkesenian di Benkel Teater Rendra, kidung-kidung tradisional etnik Madura sanagat kental dengan nilai estetika yang cukup tinggi. Didalamnya juga bernuansa magis dan sufistik. “Kandungan filsafatnya juga sangat tinggi sekali,” tutur pria yang akrab disapa Gus O’onk ini.

Dia pun menyontohkan salah satu lirik kidung;
pak o pak eleng
elengah sangkoranji
pak tarma maling
anak tambeng tak taoh ngajih.


Dalam lirik tersebut, menurutnya berisi pelajaran hidup yang sangat mulia. Tentang bagaimana seorang manusia untuk tidak meninggalkan kewajaran hidup. Tentang ketuhanan, serta tentang bagaimana harmoni tingkah seorang bapak dan laku seorang anak.

Kendati begitu, seniman yang menjadi salah satu sahabat WS. Rendra ini menyayangkan ketika kidung-kidung ini semakin termarginalkan. Hal itu terjadi karena menurutnya kidung-kidung etnik Madura secara penyajian kurang kompetitif. Apalagi selama ini penyajiannya masih bersifat lokal dan sangat tradisional.

Berangkat dari sanalah, dia mulai meracik kidung-kidung tersebut dalam bentuk perkusion seksion. Dengan menggunakan alat-alat musik dari etnik lain, seperti jimbe, bedug, serta gitar, perlahan-lahan, bersama komunitasnya, dia mulai sering menampilkan kemasan kidung etnik Madura racikannya di depan umum.

Dalam perjalanannya, penyajian kidung etnik dari perkusion seksion KSB ini semakin matang secara musikalitas. Hal itu seiring kedatangan Budi Sadewo, seorang music director yang biasa menangani pementasan seni Bengkel Teater Rendra. Kedatangan Dewo, begitu pria ini akrab dipanggil, telah memberikan warna tersendiri bagi KSB.

Berbagai unsur bunyi-bunyian diselipkan dalam racikan sebuah kidung yang dimainkan. Dewo juga memadukan racikan perkusion seksion yang dirintis Gus O’onk dengan berbagai alat-alat musik khas daerah lain. Seperti kecapi khas Sunda, ginggong dari Irian, sitter Jawa, serunai Padang, hingga Ocarina dari Kenya. “Jadi unsur bunyi-bunyiannya lebih kaya,” kata Dewo, musisi yang acapkali mengiringi pementasan puisi WS Rendra ini.

Kendati menggabungkan kidung etnik Madura dengan berbagai alat musik dari daerah lain, namun Dewo tidak merubah ciri dan kekhasannnya. Modifikasi yang dilakukan serta berbagai jenis alat musik yang dikolaborasikan, tidak sampai mengalahkan corak khas kidung etnik Madura.

Keberanian Dewo dalam memodifikasi dan memasukkan unsur-unsur musik baru dalam perkusion seksion asuhan Gus O’onk tersebut bukannya tanpa alasan. Menurut dia, dalam seni musik, tidak ada yang namanya sekat-sekat budaya. Semuanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam seni bernama musik.

Keputusan Dewo untuk turut serta mengembangkan kidung tradisional etnik Madura dilandasi betapa kuatnya ruh yang terdapat dalam kidung-kidung etnik Madura. Dia melihat dinamika yang begitu kental. Selain itu, ada sejarah dalam kidung-kidung tersebut yang akan membangkit kenangan masa lalu

Mendengar kidung pak o pak eleng, atau rak terak bulan, maupun cong koncong konce, mereka yang berasal dari etnik Madura akan langsung teringat tentang masa kecilnya. Tentang keasikan bermain bersama bulir-bulir cahaya bulan yang berkeriap pada malam pekat.

Dewo optimis, kidung tradisional khas etnik Madura akan mempu bersaing di pasar industri musik. Bertarung dengan segala jenis musik kontemporer yang kian lama kian nyaring memekakkan telinga. Apalagi jika kidung-kidung tersebut diberi kesempatan yang lebih luas untuk sering tampil menunjukkan ruhnya. “Saya yakin akan mendapat apresiasi luas. Asal mendapat tempat dan kesempatan,” imbuhnya.

Memang, ditangan Gus O’onk bersama KSB-nya, serta didukung oleh tekhnik musikalitas yang cukup tinggi dari Dewo, kidung-kidung khas etnik Madura yang mereka mainkan terdengar bisa lebih layak jual serta terasa lebih kompetitif.

Seperti dalam sebuah tembang berjudul cong koncong konce, misalnya. Lantunan cong koncong konce dibuat lebih ngebeat. Dipadukan dengan jeritan kematian khas orang Madura yang menyayat telinga, sahutan-sahutan pantun, tetabuhan jimbe yang lembut namun sesekali menghentak, serta petikan kecapi Dewo, membuat tembang ini begitu nyaman untuk dinikmati.

Racikan-racikan tembang seperti itulah yang diharapkan bisa menembus pasar internasional. Namun tidak muluk-muluk, pasar Asia adalah target awal. Saat ini mereka tengah mempersiapkan diri untuk tampil di kedubes Indonesia di Prancis dan Amerika. “Untuk launching racikan terbaru ini akan dilangsungkan di Unesa,” kata Gus O’onk.

foto by Heru Putranto

1 komentar:

  1. Seklangkong gutèh admin, guleh macah nekah èngak lambek pas gik kenik👍👍👍👍👍

    BalasHapus