Kamis, 26 Mei 2011

Ahmad Ato’illah dan Mimpinya

Terhadap Dusun Sumbercandik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk, Jember, Ato’illah telah jatuh cinta. Dia pun senantiasa merawat cinta dan mimpinya di sana.

           Tak mudah untuk tiba di dusun Sumbercandik, Desa Panduman, Kecamatan Jelbuk. Jarak dari pusat kecamatan ke dusun ini saja cukup jauh. Sekitar 15 kilometer. Bukan hanya jaraknya yang jauh, medan jalannya pun cukup berat. Menanjak dan penuh batu.
Hampir separuh perjalanan akan melalui jalan aspal rusak dan makadam. Semakin ke atas, jalanan kian menantang. Ketika hujan turun, tanah kental khas pegunungan menambah licinnya jalanan. Jika mengendarai motor, rasa letih akan mendera karena sesekali pengendara harus turun dari motor agar tak terjatuh.
Namun sesampainya di dusun terpencil itu, rasa letih yang semula mendera seakan tuntas terbayar. Hamparan tanah hijau dan hawa sejuk langsung menyambut. Terletak di lereng pegunungan Argopuro, lahan pertanian warga di dusun itu berkontur terasering. Menambah eloknya pemandangan.
 Barangkali segala keindahan itulah yang membuat Ahmad Ato’illah tergila-gila terhadap tempat itu. Baginya, Dusun Sumbercandik adalah salah satu aset berharga yang dimiliki Jember. Karena selain keindahan alamnya, serpihan-serpihan sejarah masa lalu banyak tercecer di sini.
“Bisa jadi, usia Sumbercandik ini jauh lebih tua dibanding dengan Jember sendiri,” kata pria yang sebagian rambutnya telah memutih ini. Di kawasan ini, banyak tersimpan situs-situs peninggalan jaman purba. Seperti situs batu kenong, situs klanceng, situs duplang, hingga Alas Pekarangan. Bahkan, “Ada pemakaman kuno dan banyak ditemukan manik-manik juga,” katanya. Ato’illah kian yakin jika kawasan ini adalah kekayaan Jember yang harus dijaga. Dia pun merasa harus berbuat untuk itu.
Saat pertama kali masuk ke kawasan ini sekitar tahun 2000 silam, hati Ato’illah terenyuh. Hati pria kelahiran Jember, 7 Agustus 1968 ini seakan bergejolak melihat masyarakat yang belum sadar dengan potensi alamnya. Bahkan sebagian dari mereka masih gemar menebang kayu di hutan. Bisa jadi, perbuatan kurang terpuji itu karena pengetahuan dan kesadaran pendidikan mereka yang rendah.
Di dusun ini, tingkat pendidikan masyarakat bisa dikata memperihatinkan. Jangankan yang sudah berumur, yang muda-muda sekali pun jarang mengenyam pendidikan. Bahkan untuk mencari seorang lulusan sekolah setingkat SMP untuk dijadikan kepala dusun saja tidak ada. “Jadi sampai sekarang di sana belum ada kepala dusunnya,“ kata Mulyono, Camat Jelbuk.
Hampir tidak ada akses pendidikan formal di dusun ini pada waktu itu. Untuk sekolah setingkat TK saja, jaraknya bisa belasan kilometer. Apalagi untuk sekolah setingkat SMP atau SMA, harus ke pusat kecamatan Jelbuk. ‘’Selain jauh untuk turun, jalannya rusak. Sehingga tidak ada yang sekolah,’’ kata Misran, salah seorang tokoh warga di dusun Sumbercandik. ‘’Apalagi di sini jarang yang punya kendaraan,’’ imbuhnya.
Pelan-pelan Ato’illah mulai berbuat. Dia mulai berbaur dengan masyarakat sekitar. Namun dengan hanya seorang diri, tentu itu menjadi tantangan yang cukup berat. Karena bukan hal yang mudah untuk mengentaskan orang dari kebiasaannya. Dia pun melakukan sesuatu, yang oleh sebagian teman-temannya waktu itu bahkan dianggap gila dan tak wajar.
Dengan membawa sebuah map, dia mendatangi orang-orang ternama di Jember, mulai dari akademisi, agamawan, pengusaha, hingga politisi. Dia mempresentasikan pentingnya pendidikan di kawasan tersebut. “Saya tidak meminta dana, saya hanya meminta dukungan mereka dalam bentuk tanda tangan,“ jelasnya. Ato’illah berharap, dengan seperti itu, orang-orang itu tahu bahwa harus ada yang diperbuat untuk menjaga kawasan itu.
Di sisi lain, dia terus membagikan ilmu pengetahun kepada anak-anak kecil di salah satu rumah warga. “Awalnya di rumah pak Tin (Misran),“ kenangnya. Itu dia lakukan hingga beberapa tahun kemudian. Keakraban dengan warga pun mulai terjalin. Hingga seiring berjalannya waktu, simpati terhadap apa yang dilakukan oleh Ato’illah berdatangan.
Hingga suatu ketika, dia mendapatkan sumbangan dana dari para dermawan untuk membeli sebuah lahan di salah satu sudut dusun. Di lahan itulah, kelak Ato’illah menjadikannya sebagai pusat pendidikan bagi anak-anak dusun.
Hingga pada awal tahun 2009 silam, sebuah lembaga pendidikan berdiri di lahan itu. Ato’illah menamakannya Taman Pembelajaran Bumi Sulaiman Daud. Inspirasi nama itu diambil dari dua nama nabi dalam islam yaitu Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang dikenal akrab dengan alam. Hal itu tak lepas dari misi Ato’illah dalam kegiatan konservasi alam melalui jalur pendidikan.
Kegiatan belajar mengajar di lembaga ini pun berbeda dengan pakem pendidikan formal. Tak ada kurikulum, tak ada nilai, tak ada raport dan bahkan tak ada ijazah. Di lembaga ini, skil para siswa menjadi satu-satunya yang digenjot. Mereka yang cinta melukis maka akan didorong melukis. Begitu juga mereka yang cinta bercocok tanam atau pun berdagang.
Pelajaran-pelajaran umum, seperti pelajaran bahasa memang juga masih diajarkan. Namun itu bukan hal yang utama. “Tujuan belajar bahasa kan agar mereka bisa menyampaikan pesan dengan baik. Bukan untuk menjadi ahli bahasa,“ katanya. Yang penting baginya, apa yang diajarkan di lembaga itu tidak bertentangan dengan khasanah lokalitas masyarakat setempat.  
Setelah lembaga itu berdiri, Ato’illah semakin intens untuk mengawal pendidikan di dusun itu. Apalagi, dia merasakan banyak pelajaran yang di dapat dari alam dan orang-orang di sana. Orang-orang yang senantiasa mampu menikmati hidup dalam keterbatasan. Hingga seringkali dia tidak pulang ke rumahnya di Jalan Tawangmangu, Sumbersari.  Dia lebih memilih menginap di kampung terpencil itu. Memilih jauh dari keluarganya.
 “Pernah tiga hari tidak pulang ke rumah,“ kata Nurul Farida, istri Ato’illah. Namun farida tahu, apa yang dilakukan suami tercintanya sebuah hal bermanfaat. Farida yakin, suaminya memiliki mimpi mulia untuk diperjuangkan. “Saya sih selalu mendukung,“ kata perempuan berjilbab yang juga seorang guru ini.
Ato’illah pun senantiasa total dalam pengabdiannya itu. Dia tak peduli berapa pun kocek pribadi yang harus dikeluarkan dari kantongnya. Apalagi, hingga saat ini, tak sedikit pun para siswa di sekolah itu ditarik bayaran. Hingga dia pun harus berusaha terus menghidupi lembaga itu. Selain gratis, para siswa di sana bahkan mendapatkan baju dan buku-buku pelajaran secara gratis.
Namun begitu, sering pula Ato’illah kelimpungan kala harus memberi uang transport pada tenaga-tenaga pengajar di lembaga itu. Meski status mereka mengabdi kepada masyarakat, namun Ato’illah senantiasa mencarikan mereka uang saku. Apalagi, sejumlah tenaga pengajar ini jauh-jauh datang dari Jember.
Ato’illah enggan untuk menyebut pemberian kepada guru-guru itu sebagai gaji. ‘’Kalau disebut gaji tidak pantas lah, karena terlalu kecil,’’ kata ayah dari empat orang putra ini. ‘’Dua tahun mereka bertahan mengajar di tempat terpencil seperti itu sudah hal yang luar biasa,’’ sambungnya.
Kini, setelah dua tahun berjalan lembaga itu berdiri, ada keberhasilan-keberhasilan yang sudah dicapai. Sebagian dari mereka yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga itu sudah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. ‘’Sudah banyak yang melanjutkan juga,’’ kata Misran, yang tokoh masyarakat.
Setelah dua tahun berjalan itu juga, ternyata ganjalan belum sepenuhnya usai. Beberapa waktu lalu, dua tenaga pengajar yang selama ini membantu Ato’illah ternyata mengundurkan diri. Dia pun kini lebih sibuk karena harus memberikan pendidikan seorang diri. Untunglah, beberapa kawan di Jember yang peduli terhadap pendidikan bersedia membantunya. “Rencana bersama dengan teman-teman kita bikin jadwal piket mengajar,“ ungkap lulusan tahun 1990 fakultas pertanian Unej ini.
Meski benih-benih keberhasilan itu sudah terlihat, namun Ato’illah sadar, banyak tantangan yang masih harus dilalui. Misalnya bagaimana kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan kian ditumbuhkan. Masyarakt harus tahu tentang potensi diri dan lingkungan mereka yang luar biasa itu.
Apa yang dilakukan Ato’illah itu demi sebuah mimpinya. Bahwa suatu saat kelak, dusun indah itu akan menjadi salah satu kawasan wisata membanggakan milik Jember. Dan masyarakat di sana bukan hanya sebatas objek, tapi sekaligus subjek. “Mereka tidak terasing di tanahnya sendiri,” harapnya.
Hingga kini, Ato’illah senantiasa merawat dan memperjuangkan mimpinya itu. Terlepas terwujud atau tidak, itu tidak lagi penting baginya. “Keberhasilan atau kegagalan itu bukan tujuan. Tapi bahwa kita telah berbuat, kita telah melakukan, itulah tanggung jawab kita,“ tegasnya. Baginya, sebagai manusia, bermanfaat bagi manusia lainnya merupakan salah satu bentuk tanggung jawab.

1 komentar:

  1. Ass wr wb
    Boleh tahu posisi Bp Attoillah di jember dimana??. Saya ingin mendapatkan info banyak dari beliaunya tentang usaha2 pemberdayaan yang dilakukan di sumberjandik. Terima kasih.

    BalasHapus