Sabtu, 28 Mei 2011

Nurhadi ‘Memed’

Apa bentuk syukur kita kepada Tuhan atas udara yang kita hirup, air yang kita teguk, jiwa yang selamat dari bencana serta kemurahan alam lainnya selain berbuat sesuatu untuk kelestarian alam?
           
Tentu, kehidupan menghadirkan banyak pilihan. Dari sekian banyak pilihan itu, Nurhadi telah memilih untuk bekerja dalam sunyi, di tandusnya gunung, di rusaknya rimba. Menyerahkan hidupnya sebagai abdi bagi keberlangsungan alam. Pakaian sederhana juga rambut dan cambangnya yang panjang kian menegaskan hidupnya yang menjauh dari kemapanan.
            Memed, begitu dia lebih dikenal. Di kalangan pecinta lingkungan, sering pula dia dipanggil Stres. Sementara sebagian lainnya memanggilnya Mbahe Argopuro. Tentu itu bukan panggilan ejekan. Tapi lebih kepada ungkapan sanjungan untuk menjelaskan betapa ‘gila’ dan luar biasanya Memed dalam menjaga kelestarian alam.
            Semua ke’gila’an Memed berawal ketika usianya masih 13 tahun, saat masih duduk di bangku kelas satu di SMP Prapanca, Jember. Di usia sebelia itu, kegelisahan akan kelestarian alam telah muncul dalam dirinya. Memed sudah memiliki kekhwatiran beberapa tumbuhan akan punah. Kekhawatiran yang terbukti kelak di masa depan.
            Kala itu, Memed kecil telah memilih hidup berbeda dengan anak-anak seusianya. Di saat yang lain masih senang bermain, dia lebih senang menanam dan merawat pohon di samping rumahnya. Tak butuh waktu lama, halaman rumah di Jalan Teratai itu telah penuh dengan aneka tumbuhan. Kedua orang tuanya, Alm. Suda’I dan Ipit Siti Indari sempat kahwatir dengan tingkahnya itu.
            “Keluarga saya kan keluarga montir otomotif. Jadi mereka kaget. Akhirnya saya hanya katakan pada mereka, saya takut terjadi kepunahan spesies,” kenang pria kelahiran 15 Mei 1973 ini. Penjelasan yang tentu tak sepenuhnya memaklumkan hati kedua orang tuanya itu. Namun Memed tak begeming. Di jalan terus.
            Seiring waktu, ketertarikannya kepada alam semakin menguat. Memed mulai sering keluar masuk hutan. Khususnya di lereng selatan pegunungan Argopuro. Saat itulah, kekhawatirannya terbukti. Banyak jenis pohon yang mulai langka. Salah satunya adalah bingkes, pohon dari jenis beringin. Penyebabnya sebagian besar karena ulah manusia. Penebangan liar membuat banyak pohon yang musnah.
            Melihat itu, hatinya bergemuruh. Memed marah. Dia merasa orang-orang tak mengerti betapa pentingnya pohon-pohon itu untuk menjaga ekosistem alam. “Pohon itu penting untuk ekologi. Pohon bisa menjaga kelembapan tanah. Sehingga ketersediaan air tetap terjaga,’” katanya.
            Memed hanya seorang lulusan SMP. Dia bukan seorang penguasa yang cukup tunjuk tangan agar niatnya terkabul. Dia pun bukan peneliti yang punya banyak teori tentang ekologi. Namun, atas kemarahannya itu, terucap ikrar dalam dirinya untuk berbuat. Melestarikan alam dengan apa yang dia bisa, dengan keringatnya sendiri kalau perlu.
            Sejak saat itu, Memed rajin membawa bibit tumbuhan dari hutan, kemudian dia tangkarkan di rumahnya. Setelah siap ditanam, bibit itu kemudian dia kembalikan ke habitatnya. Khususnya di daerah-daerah rawan longsor di lereng selatan Argopuro, seperti gunung Pasang, gunung Kerincing serta gunung Sawut.
            Untuk melakukan itu, Memed tak menunggu siapa-siapa. Tak harus ada seremoni atau peresmian. Tak perlu menunggu proyek bernilai rupiah dari pemerintah. Ditanamnya aneka bibit pohon hutan itu seorang diri. Tanpa bayaran. Dia memilih bekerja dalam sunyi. Baginya, menunggu uluran tangan orang lain hanya akan membuat suatu hal yang sederhana menjadi berbelit-belit.
             Demi menjalankan kegiatan konservasinya itu, Memed mencari rupiah dengan  serabutan. Sesekali dia membantu kawannya membuat kerajinan manik-manik. Kalau ada yang membangun rumah, dia bekerja sebagai kuli bangunan. Hasilnya, seringkali hanya cukup untuk ongkos angkutan ketika dia ingin pergi ke hutan.
            “Paling banyak saya bawa uang Rp 25 ribu. Biasanya untuk naik angkutan hingga ke Bunut, Panti,” ungkap pria yang sudah pernah mendaki hampir seluruh gunung di Jawa ini. Tak ada perbekalan makanan yang dia bawa. Saat di hutan, dia mengandalkan apa yang ada di alam.
            Alam memang telah menyediakan segalanya. Pernah Memed menghabiskan satu minggu di hutan. Ratusan pohon dia tanam. Meski tak ada perbekalan, Memed tak kelaparan. Rotan bakar dan umbud bakar cukup mengenyangkan baginya. Umbud adalah tanaman sejenis palm yang tumbuh di hutan, dan bisa dimakan daging batangnya. Untuk kebutuhan proteinnya, sesekali dia memancing ikan di sungai.
            Meski tak sekolah tinggi, namun Memed tak malas belajar. Dia tahu, menanam pohon di hutan juga ada aturannya. “Agar tak sesat,” katanya. Dari buku dan pengalamannya di hutan, Memed tahu bahwa pohon sapen hidup di ketinggian 1.200 mdpl. Sementara pohon kopi anjing di ketinggian 1.100 mdpl. Begitupun dengan pohon-pohon lainnya. Memed tak mau niat baik menanam di hutan justru malah merusak ekosistem.
            Tak terhitung sudah pohon yang dia tanam. Memed puas saat melihat pohon-pohon itu tumbuh. Meski, hatinya selalu terenyuh, saat melihat banyak hutan yang kian gundul. Bahkan, banyak kawasan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat hanya ditanami tanaman perdu, seperti kopi. Tak heran jika titik longsor kian banyak ditemukan.
            Suatu malam, dalam kesendirian di puncak gunung, Memed menangis. Melihat kerlip ribuan lampu di kota Jember, hatinya tercabik-cabik. “Apa para pemimpin tidak ada yang tahu atau pura-pura tak tahu dengan ancaman bencana,” serunya. Begitulah, saat di hutan, Memed justru tak pernah merasa damai. Dia selalu marah melihat alam yang rusak. Mungkin karena itulah, hingga kini dia tak pernah berhenti menanam.
            Beberapa kali, khususnya seusai banjir bandang Panti terjadi, kegiatan reboisasi memang lebih sering dilakukan pemerintah maupun LSM. Namun bagi Memed, reboisasi itu tak ubahnya menanam bencana kembali. Bagaimana tidak, pohon yang ditanam lebih berupa tanaman produksi, seperti sengon atau mahoni. “Pernah digalakkan menanam trembesi, tapi justru kenapa di pinggir jalan. Akhirnya hanya jadi komoditas politik,” keluhnya.
            Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Memed barangkali kegiatan idealis yang berat atau mungkin tak masuk akal. Bahkan, ada yang pernah menyebutnya sok pahlawan. Namun sekali lagi, itu tak membuatnya berhenti. Malah membuatnya semakin ‘gila’ untuk menanam di hutan.
Kini, di usianya yang sudah 37 tahun, Memed tak berniat berhenti untuk menanam di hutan. Dia pun kini sering diikuti oleh para mahasiswa pecinta alam (PA) dalam kegiatan konservasinya. Meski, dalam hatinya sering bertanya-tanya, siapa yang akan meneruskannya kelak. Meneruskan program menanam pohon di hutan dengan tulus. Dia berharap, beberapa anak dari PA yang lebih pintar secara keilmuan dibandingkan dirinya, kelak akan mengikuti jejaknya.
Lamat-lamat, Memed menggugah kesadaran kita, “Hutan sudah memberikan bagitu banyak kepada kita. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, lalu kita terlindungi dari bencana. Dengan apa kita berterima kasih?"


*****                                                                                                                                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar