Rabu, 18 Mei 2011

Anak-anak dan Hutan

Anak-anak itu lahir, tumbuh dan menghabiskan masa kecilnya di hutan. Meski tak pernah ada jaminan, kelak mereka masih mewarisi rimbunnya hutan.

            Selembar kain berwarna gelap menutup rapat mata Wilian Fransisco. Di dadanya tertempel selembar kertas bertuliskan ‘elang’. Dengan pandangan terhalang dia berjalan perlahan. Menghampiri teman-temannya yang matanya juga tertutup dan di dadanya juga tertempel selembar kertas bertuliskan tikus, ikan hingga racun.
            Wilian adalah siswa kelas IV di SDN 03 Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jawa Timur. Siang itu, Rabu (27/04), di halaman sekolahnya, bocah kelahiran 1992 ini sedang memerankan diri menjadi seekor elang lapar. Dengan mata tertutup itu, dia harus menangkap salah satu temannya yang di dadanya bertuliskan ikan atau tikus, makanan kesukaan elang.
            Wilian masih berputar-putar. Meraba-raba. Berharap ada seorang temannya yang berhasil dia tangkap. Tepuk sorak anak-anak lainnya menambah semangat Wilian ‘berburu’. Wilian semakin agresif. Hingga selang beberapa saat kemudian, usahanya membuahkan hasil. Titin, berhasil direngkuhnya.
            Wilian tak lagi sabar. Dibukanya kain yang menutup matanya itu. Memastikan bahwa tangkapannya benar. Namun, kali itu Wilian harus menelan pil kekecewaan. Kertas yang tertempel di baju putih Titin ternyata bertuliskan racun. Si pemandu permainan menjelaskan bahwa tangkapannya keliru. Elang tidak makan racun. Tapi makan ikan atau tikus.
Wilian memang kecewa karena tak berhasil. Tapi kekecewaannya siang itu terlalu kecil dibandingkan dengan pengetahuan besar yang baru dia dapatkan. Wilian pun kini tahu tentang rantai makanan hewan. Tanpa sadar, permainan sederhana ini bisa menjadi bekal berharga baginya untuk tidak semena-mena memperlakukan alam dan isinya.
Tapuk tangan dan aba-aba dari pemandu permainan seketika membuyarkan kekecewaan Wilian. Dia kembali bergabung dengan teman-temannya. Bersenang-senang. Membentuk lingkaran di halaman sekolah yang luas itu. Tiba-tiba Budi Santoso, pemandu permainan berteriak, “Satu kali tepuk hutan,” serunya. Dengan lantang, bocah-bocah SD itu berteriak kemudian bertepuk tangan. “Hu..plok, plok, plok. Tan.. plok, plok, plok. Hutan..” sambut mereka serempak.
Tepuk hutan itu beberapa kali diulangi. Ketika Budi menyerukan ‘tepuk hutan’, bocah-bocah itu kembali dengan sigap menyambutnya. Ada harapan kecil dari permainan itu. Kata hutan sedikit demi sedikit tertanam kuat dalam benak Wilian dan kawan-kawannya. “Anak-anak ini yang diharapkan bisa menjaga hutan. Karena nantinya mereka yang akan mewarisi hutan,” kata Budi, pria yang menjadi anggota Konservasi Alam Indonesia Lestari – Lembaga Alam Tropikal Indonesia (KAIL-LATIN) ini.
Kesadaran akan pentingnya ekosistem dan keberlangsungan hutan diharapkan tertanam pada diri anak-anak ini melalui hal-hal sederhana. Seperti permainan-permainan tadi. Namun, tak semuanya sederhana, ada juga hal-hal serius yang dipelajari. Salah satunya adalah mengenali berbagai macam tanaman yang banyak tersebar di hutan dekat rumah mereka.
Mereka diajarkan mengenal tanaman MPTS (multi purpose trees seeds) atau tanaman serbaguna, seperti petai, asam, kemiri hingga durian. Setelah itu, mereka langsung melakukan aksi penanaman di belakang sekolah. Kelak, jika tumbuh besar, tanaman itu akan menjadi saksi bahwa mereka pernah mengenyam pendidikan di sekolah terpencil itu.
Sederhana memang. Tak perlu biaya besar seperti seminar-seminar tentang konservasi alam yang kerap digelar di gedung-gedung mewah atau di lobi-lobi hotel. Tapi, berawal dari kesederhanaan ini, masa depan ibu bumi, laskar pepohonan, hingga si mungil rumput dan lumut bisa tetap lestari. Lagipula, aksi itu jelas-jelas langsung dilakukan saat itu juga. Tak perlu menunggu hasil rapat atau hasil seminar. Bahkan tak perlu menunggu wartawan untuk meliputnya.
Begitu membumi. Bocah-bocah yang hidup di kawasan hutan itu akhirnya tahu lebih dini tentang pentingnya keberlangsungan hutan. Di antara bocah-bocah polos itu, bisa saja ada putra atau putrid, orang-orang yang selama ini hidup dari hutan. Melalui penebangan liar, misalnya. Tapi seperti kertas putih, hal-hal baik harus ditabalkan pada diri mereka. “Anak-anak itu seperti kertas putih. Paling tidak kita sudah berbuat. Nantinya lingkungan yang akan membentuk mereka,” imbuh Budi.
SDN 03 Andongrejo sendiri berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Pantai Bandealit yang memesona itu juga berada di desa ini. Banyak orang lebih familiar dengan pantai indah itu dibandingkan nama desanya sendiri.
Meski berada di kawasan hutan, namun cukup ironis, di sekolah itu tak ada muatan lokal utamanya terkait konservasi hutan. “Kegiatan ini mendukung sekali bagi anak-anak di sekolah dan masyarakat di sekitar biar mengerti pentingnya hutan,” kata Poniman, salah seorang guru.
Hutan di Meru Betiri merupakan salah satu hutan tropis dataran rendah di pulau Jawa yang masih rimbun. Kayu-kayu besar di sana masih rapat. Ekosistem masih terawat. Beberapa binatang dan tumbuhan langka, seperti bunga bangkai (Raflesia zoolingerianan), elang Jawa (Spizateus bartelsi), penyu hijau (Chelonia mydas) hingga macan tutul (Panthera pardus) berhabitat di sana.
Lebih dari itu, ada yang meyakini, harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) yang misterius itu masih berkeliaran di hutan seluas 58 ribu hektar ini. “Kalau berdasarkan penelitian tahun 2006 lalu, data-data sekunder seperti kotoran dan jejak masih ditemukan,” kata Dodit, petugas TNMB.
Balai TNMB juga mencatat, fauna yang terdapat di hutan Meru Betiri sebanyak 217 jenis. Terdiri dari 92 jenis yang dilindungi dan 115 jenis yang tidak dilindungi. Jumlah sebanyak itu meliputi 25 jenis mamalia (18 di antaranya dilindungi), 8 reptilia (6 jenis dilindungi) serta 184 jenis burung (68 di antaranya dilindungi).
Namun, ancaman terus mengintai keberlangsungan kekayaan hutan Meru Betiri. Alih fungsi (deforestasi) dan degradasi hutan masih saja terjadi di sana. Bahkan, 4.050 hektare areal hutan menjadi zona rehabilitasi karena sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan maupun pertanian masyarakat.
Kasus illegal logging di TNMB juga masih saja terus terjadi. Bahkan, illegal logging menjadi kasus tertinggi di kawasan konservasi ini dibandingkan dengan kasus-kasus lain, seperti perburuan satwa.
Data TNMB merekam, pada tahun 2010 lalu, terdapat 41 kasus illegal loging. Tahun 2009, terdapat 58 kasus. Sementara jumlah kasus tertinggi selama 6 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008 dengan total 65 kasus.
Masih terjadinya illegal logging di kawasan konservasi ini cukup ironis. Karena kawasan TNMB telah menjadi salah satu pilot percontohan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD), sebuah upaya mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global melalui pelestarian hutan
Namun, tak pernah ada kata terlambat. Setidaknya anak-anak itu kini lebih tahu arti penting hutan. Anak-anak yang tumbuh besar di dalam lebatnya rimba itu pulalah yang kelak akan mewarisi hutan. Meski tak pernah ada jaminan, kelak hutan itu masih rimbun atau tidak..

Foto: kabarindonesia.com            
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar